Liputan6.com, Jakarta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) turut mengomentari terkait jumlah utang pemerintah. Meskipun meningkat cepat, dalam empat tahun terakhir, tapi utang pemerintah dinilai masih terkendali.
Hal itu terungkap dalam 'Seri Analisis Makroekonomi Indonesia Economic Outlook 2019' yang diterima Merdeka.com, Selasa (5/2/2019).
"Sebagian besar utang berada dalam mata uang domestik. Pada kuartal-III 2018, utang dalam mata uang asing mencapai Rp 1.873 triliun, sementara utang dalam mata uang Rupiah mencapai Rp 2.544 triliun atau setara dengan 58 persen dari total utang. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tahun 2014, porsi utang dalam mata uang asing mengalami sedikit penurunan dari 43 persen menjadi 42 persen," kata Kepala Riset LPEM FEUI Febrio Kacaribu.
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, walaupun Rupiah terdepresiasi sekitar 20 persen sejak akhir 2014, proporsi utang dalam mata uang asing yang cukup stabil ini sangat mengesankan.
Hal ini menjelaskan bahwa utang Indonesia yang dikelola dapat bertahan lebih baik terhadap fluktuasi mata uang, menandakan adanya disiplin yang kuat dalam memitigasi risiko nilai tukar serta mampu mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal terkait dengan utang luar negeri.
Aspek kedua yang dianalisa LPEM UI adalah perbandingan pemberi pinjaman antara domestik dan asing. Pemerintah Indonesia lebih bergantung pada kreditor eksternal dibandingkan kreditor domestik.
Hal tersebut cukup menguatirkan mengingat 57,6 dari utang pemerintah Indonesia berada dalam bentuk Rupiah, dan sekitar 40 (sekitar Rp 850 triliun) di antaranya dimiliki oleh asing.
"Aliran modal portofolio yang secara tiba-tiba mengalami goncangan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap nilai tukar, seperti pada contoh di periode 2018 dan 2013-2015," jelas dia.
"Namun, sejalan dengan hal tersebut, jika kita bandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 2014, rasio kreditor asing dalam utang pemerintah Indonesia kurang lebih konstan. Di samping itu, pemerintah berhasil menurunkan rasio dari 62 persen pada 2017 menjadi 60 persen pada 2018," lanjut dia.
Aspek ketiga berkaitan dengan rasio nilai utang terhadap PDB. Meskipun terlihat semakin tinggi selama lima tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar dari tambahan utang pemerintah Indonesia digunakan untuk investasi 'produktif', terutama pada proyek infrastruktur, yang dapat mendorong aliran PDB di masa depan.
Utang tidak digunakan untuk konsumsi, seperti misalnya, digunakan untuk pembiayaan subsidi sektor energi. Oleh karena itu, peningkatan rasio utang terhadap PDB yang terjadi saat ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
Terlihat dalam tiga tahun terakhir, meskipun pembiayaan proyek infrastruktur yang dikeluarkan lebih besar, pemerintah Indonesia telah berhasil secara signifikan memperlambat peningkatan rasio utang dan menahan rasio tersebut berada di bawah 30 persen.
"Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya; seperti Thailand (42 persen), Malaysia (55 persen), Vietnam (58 persen), atau Brasil (88 persen)."
Aspek keempat mengenai kecenderungan pemerintah Indonesia untuk menambah pinjaman jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Aspek ini sangat penting dalam pengelolaan utang. Hampir semua utang pemerintah Indonesia merupakan utang yang jatuh tempo dalam jangka Panjang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek.
Pinjaman pemerintah tepat dilakukan ketika potensi tingkat pertumbuhan PDB cukup menjanjikan. Utang 'produktif' akan menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia yang telah ditargetkan.
"Oleh karena itu, pinjaman yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan, sejalan dengan peningkatan standar hidup yang dihasilkan melalui peningkatan produktivitas dan beban utang yang terkelola. Dalam hal ini, kami melihat bahwa komposisi utang pemerintah Indonesia saat ini cukup aman," ujar dia.
Sisi positifnya, pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mempertahankan utang dengan meningkatkan dominasi utang jangka panjang, setidaknya dalam enam tahun terakhir.
Data terakhir pada kuartal-III 2018 menunjukkan bahwa total utang pemerintah sebesar Rp 4.416 triliun atau tumbuh sebesar 14,2 persen (y.o.y), sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.
Secara khusus, berdasarkan waktu jatuh tempo, utang Indonesia didominasi oleh utang jangka panjang, yaitu sekitar Rp 4.296 triliun atau 97 persen dari total utang pemerintah dan tumbuh sebesar 14,7 persen (y.o.y). Sementara utang jangka pendek mencapai Rp120 Triliun atau 2,7 persen dari total utang, turun sebesar 2 persen dari tahun sebelumnya (y.o.y).
"Hal ini menunjukkan bahwa beban pembayaran utang dalam anggaran pemerintah akan menurun bersamaan dengan peningkatan utang jangka menengah dan panjang. Pembayaran utang hanya akan sedikit membebani anggaran di tahun mendatang," ungkap Febrio.
Â
Selanjutnya
Indikator kelima ialah pembayaran bunga utang. Semakin besar utang, semakin besar pula pembayaran bunganya. Terlepas dari kenaikan nilai nominal utang yang belum terbayar, pembayaran bunga yang lebih tinggi juga disebabkan oleh kenaikan pada imbal hasil obligasi pemerintah, yang nilainya sangat bergantung pada keadaan pasar obligasi pemerintah itu sendiri.
Tren penurunan pembayaran bunga utang relatif terhadap anggaran sebelum tahun 2013 disebabkan oleh menurunnya rasio utang terhadap PDB dan juga oleh penurunan imbal hasil obligasi. Setelah 2013, imbal hasil obligasi pemerintah cukup stabil di tingkat rata-rata 7 persen, yang memperlihatkan bahwa kenaikan beban bunga pada periode ini disebabkan oleh jumlah utang yang meningkat.
"Lebih rinci, beban pembayaran bunga utang berada konstan di tingkat 10,8 persen dalam dua tahun terakhir. Kami melihat bahwa kenaikan beban pembayaran bunga merupakan kekhawatiran yang masuk akal. Namun begitu, kami juga melihat bahwa pemerintah sudah melakukan upaya yang cukup terkait efisiensi anggaran di mana saat ini anggaran sangat terjaga dan mengalami penurunan meskipun pengeluaran produktif masih tetap tinggi dalam dua tahun terakhir," jelasnya.
"Di sisi lain, seiring aliran modal masuk portofolio telah dimulai kembali sejak Oktober 2018, imbal hasil obligasi pemerintah diperkirakan juga akan menurun. Kami mengestimasi beban pembayaran bunga utang akan berkurang pada tahun 2019."
Terakhir, indikator keenam yang diperhatikan ialah dominasi utang jenis sekuritas yang terlihat terlalu besar dalam komposisi utang pemerintah. Kontribusi utang jenis ini terhadap total utang sudah mengalami peningkatan dari 68 persen di kuartal III-2012 menjadi 81 persen di kuartal III-2018. Kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab dari relatif tingginya beban pembayaran bunga, khususnya pada saat kondisi pasar sedang tidak menguntungkan bagi obligasi pemerintah.
"Sayangnya, isu-isu penentangan dominansi sekuritas pada total utang ini sering kali merujuk ke era ketika utang pemerintah masih didominasi oleh pinjaman dari organisasi multilateral seperti World Bank, pada saat itu Indonesia masih negara miskin yang memiliki akses ke pinjaman murah," kata dia.
Sebagai kesimpulan, LPEM UI menyatakan bahwa utang pemerintah Indonesia saat ini masih berada dalam tingkatan yang rendah dan dikelola secara hati-hati. Rasio utang terhadap PDB Indonesia merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, sebagian besar utang terdapat dalam bentuk utang jangka panjang, bukan utang jangka pendek.
"Beban pembayaran bunga utang memang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, namun penerapan disiplin fiskal yang baik dapat menahan dan bahkan mengurangi beban tersebut dalam waktu dekat. Risiko utang yang tinggi terjadi akibat relatif besarnya proporsi utang dalam mata uang asing dan tingginya kepemilikan asing atas utang pemerintah, hal tersebut perlu diperhatikan oleh Bank Indonesia dan pemerintah untuk dapat membuat kebijakan yang lebih baik di masa yang akan datang," tandasnya.
Advertisement