Liputan6.com, Jakarta - Wacana untuk menaikkan harga pokok pembelian (HPP) gula akan membawa dampak bagi industri. Salah satunya berpotensi menambah biaya produksi Usaha Mikro dan Menengah (UMKM).
Wacana menaikkan HPP menjadi Rp 10.500 per kilogram (kg) berpotensi untuk mengerek harga eceran tertinggi (HET) naik ke level estimasi Rp 14.000 per kg. Angka ini terbilang tinggi dan kalau memang diimplementasikan, maka berpotensi mendorong naiknya biaya produksi industri makanan dan minuman yang dikelola oleh UMKM.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, wacana ini dikhawatirkan akan memengaruhi kinerja industri makanan dan minuman yang dikelola oleh UMKM karena pada dasarnya mereka menggunakan gula kristal putih yang dijual di pasar sebagai salah satu bahan baku. Komoditas ini bisa dikatakan juga dikonsumsi secara langsung oleh konsumen secara umum.
Advertisement
Baca Juga
“Adanya kenaikan harga gula nantinya akan berdampak pada daya beli masyarakat karena dampak yang dirasakan tidak hanya kenaikan gula untuk kebutuhan dapur. Tapi juga berasal dari naiknya jenis makanan dan minuman jadi yang diproduksi oleh UMKM tersebut,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (19/2/2019).
Komoditas yang satu ini juga pernah tercatat menyumbang inflasi pada pertengahan tahun 2016 dimana BPS menyampaikan bahwa gula berkontribusi pada inflasi di Mei 2016 sebesar 0,24 perse dan Inflasi tahunan 2016 sebesar 3,33 persen (yoy).
Adanya HPP dan HET, lanjut Ilman, bertujuan untuk melindungi produsen dan konsumen. Namun dalam jangka panjang, kebijakan pricing ini tidak akan mendorong harga gula bergerak ke arah yang lebih terjangkau bagi konsumen dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi petani gula secara signifikan.
“Petani gula dalam hal ini akan mengalami margin profit yang tetap dan hanya dapat menambah margin profitnya dengan mendorong biaya produksi menjadi lebih rendah. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa ke depannya HPP akan terus naik karena petani pun harus menyesuaikan margin profit dengan kebutuhan rumah tangga mereka,” urainya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Ada Subtitusi
Di sisi lain, pelaku industri makanan minuman yang menggunakan gula juga relatif tidak dapat secara mudah untuk mensubstitusikan gula dengan bahan baku pengganti lainnya dan mengakibatkan adanya biaya produksi yang harus ditanggung baik oleh produsen UMKM maupun konsumen makanan dan minuman.
Pekerjaan rumah yang harus dituntaskan industri gula dan juga pemerintah adalah untuk meningkatkan produktivitas gula. Berdasarkan data BPS (2017) dan USDA (2017-2018), saat ini produktivitas tebu di Indonesia berada di kisaran 65,73 ton per ha . Angka ini relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan capaian Indonesia pada 2009 - 2010 yang mencapai 78,24 ton per ha.
Selain itu, mengacu pada sumber data serupa, tingkat rendemen gula Indonesia masih terbilang rendah yaitu sebesar 7,5 persen. Angka ini jauh di bawah Filipina yang sebesar 9,2 persen dan Thailand sebesar 10,7 persen.
Kedua fakta ini menandakan perlunya optimisasi kinerja pabrik gula domestik agar dapat bekerja lebih efisien untuk menghasilkan gula dalam biaya yang lebih rendah. Untuk itu, pemerintah sebaiknya terus mendorong revitalisasi pabrik gula agar menjamin kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga gula dalam jangka panjang.
Advertisement