Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI, Soelaeman Soemawinata mengaku, optimistis sektor properti akan tumbuh positif pada 2019.
Dia menuturkan, sektor properti sempat mengalami kemunduran pada periode 2014 -2017.
"Sejak 2014 sampai 2017 itu sales-nya hampir 70 persen sisanya. Jadi turun 30 persen. Di awal 2018 itu para pengembang menata ulang bagaimana strategi pengembangan yang harus di lakukan," kata dia, saat ditemui, di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Advertisement
Baca Juga
Namun, keadaan mulai menunjukkan pemulihan pada 2018. Salah satu indikator pulihnya sektor properti dari meningkatnya investasi.
"Pada akhir 2018 kelihatannya ada peningkatan investasi hampir 16 persen di sana itu berarti 2019 ini beberapa pengembang mencoba untuk melamgkah ke arah yang positif," ungkapnya.
"Kita tentu dengan kerja keras kita harus optimis di 2019 ini bisa mencapai pertumbuhan yang positif," ia menambahkan.
REI menargetkan akan membangun 200.000 unit rumah non-MBR pada 2019. Jumlah ini, naik dari realisasi pembangunan hunian non-MBR di tahun 2018, yakni 180.000 unit.
"Realisasi 2018 kemarin kita hampir 180.000. Sekarang kita naikkan jadi 200.000 untuk non-MBR. Karena investasi di properti rumah non-MBR itu bukan hanya rumah jadi ada commercial office pariwisata ada industri dan lain-lain," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Tahun Politik, Warga Tahan Beli Apartemen pada 2019
Sebelumnya, Colliers International Indonesia menyatakan, proses pemilihan presiden (Pilpres) atau pemilihan umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan tahun ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pasar bisnis apartemen pada 2019.
"Risiko Pemilu itu lebih terasa di kelas masyarakat menengah ke atas, karena itu pengaruhi kestabilan politik dan ekonomi, termasuk investasi di pasar properti dan apartemen," ungkap Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto di Jakarta, Rabu 9 Januari 2019.
Meski demikian, Ferry menambahkan, pasar apartemen pada 2019 ini juga punya beberapa prospek menjanjikan, antara lain adanya pelonggaran kebijakan Loan To Value (LTV) dari Bank Indonesia serta penurunan pajak untuk sektor properti.
"Efek lanjutan dari relaksasi LTV bisa jadi penolong. Selain itu, penurunan pajak properti untuk barang mewah (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah/PPnBM) juga jadi prospek untuk pasar apartemen," sambungnya.
Lebih lanjut, ia membeberkan, tingkat penyerapan (take up rate) apartemen pada tahun ini akan stagnan berada di kisaran 85-86 persen. Salah satu penyebabnya juga dikarenakan masyarakat yang masih menahan diri membeli hunian sampai proses Pemilu 2019 usai.
"Kami memperkirakan permintaan apartemen masih akan stagnan, karena orang akan lebih menunggu sampai pemerintahan baru terbentuk. Di samping itu, adanya potensi kenaikan suku bunga dan kemungkinan pelemahan rupiah akibat ketidakpastian global," papar dia.
Selain itu, dia melanjutkan, occupancy rate atau tingkat keterisian apartemen pun akan ikut menurun, oleh sebab ketatnya persaingan antar pihak penyedia hunian.
"Persaingan yang ketat dengan apartemen strata dan apartemen service ditambah jumlah ekspatriat yang terus berkurang, tingkat keterisian diprediksi akan terus menurun," ujar dia.
Berbagai faktor tersebut disebutkannya bakal membuat nilai jual apartemen secara rata-rata tak akan banyak mengalami perubahan, yakni masih pada rentang harga Rp 35-36 juta per m2.
"Akibat permintaan stagnan, harga apartemen juga tidak akan banyak bergerak," tandasnya
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement