Diskriminasi Sawit, Indonesia Ancam Seret Uni Eropa ke WTO

Jika diskriminasi minyak kelapa sawit Indonesia diteruskan, pemerintah akan membawanya ke forum WTO.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Mar 2019, 19:35 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2019, 19:35 WIB
20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat penting. Hal ini tercermin dari nilai kontribusi ekspor CPO senilai USD 17,89 miliar pada tahun 2018. Industri ini berkontribusi hingga 3,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto.

Industri sawit juga menyerap 19,5 juta tenaga kerja, termasuk 4 juta petani kelapa sawit di dalamnya. Selain itu, kelapa sawit juga menjadi bagian penting dalam strategi pemenuhan kebutuhan energi nasional menggantikan bahan bakar fosil. Target produksinya mencapai 9,1 juta kiloliter, yang dijalankan melalui program mandatori biodiesel (B-20) sejak tahun 2015.

"Dengan peranan kelapa sawit tersebut, jelaslah bahwa kelapa sawit mempunyai peranan yang penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia, yang juga merupakan prioritas pertama dalam pencapaian SDGs 2030," kata Darmin, di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (20/3/2019).

Namun, sejak 13 Maret 2019 lalu, berdasarkan kebijakan UE, Komisi Eropa mengeluarkan regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II), mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ILUC (Indirect Land Use Change). Sementara minyak kedelai asal Amerika Serikat tidak dimasukan dalam kategori tersebut.

Menanggapi permasalahan tersebut, Darmin menyampaikan posisi keras Pemerintah Indonesia untuk menentang konsep Delegated Act RED II oleh Komisi Eropa yang diskriminatif tersebut.

"Kita tidak mau ini diganggu gugat apalagi, dengan cara cara proteksionisme terselubung lalu ditransform menjadi terminologi yang ujungnya diskrimiatif," tegasnya.

Darmin pun menyatakan, pemerintah akan menempuh segala cara untuk menentang rencana kebijakan Uni Eropa tersebut, bahkan akan membawanya ke forum WTO, jika diskriminasi minyak kelapa sawit Indonesia diteruskan.

"Kita tidak mau menjelaskan rinci sekarang, tapi pertama yang kita lakukan setelah kita berusaha mengingatkan jangan teruskan, kalau dia teruskan dan Parlemen Eropa memutuskan minggu depan atau 2 bulan lagi, kita akan bawa ke WTO, karena itu forumnya untuk bertengkar. Ini ada apa kok soybean oil dari AS low risk, pembahasannya bagaimana. Kok tiba-tiba CPO yang high risk," tuturnya.

 

Hubungan RI-Uni Eropa

20160304-Kelapa Sawit-istock
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Darmin pun menekankan, hubungan baik antara Indonesia dan Uni Eropa yang sudah terjalin sejak lama, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini terefleksi dalam perdagangan dan investasi.

"Presiden RI juga telah menyatakan keprihatinannya pada hubungan perdagangan dan investasi dengan Uni Eropa jika kebijakan diskriminasi terhadap sawit ini berlanjut," katanya.

Namun kemitraan strategis antara ASEAN dan Uni Eropa saat ini ditunda, Indonesia akan mengkaji ulang hubungan bilateral dengan negara-negara anggota Uni Eropa, yang mendukung tindakan-tindakan diskriminatif yang diusulkan oleh Komisi Eropa tersebut.

"Kami khawatir apabila diskriminasi terhadap kelapa sawit terus berlanjut, akan mempengaruhi hubungan baik Indonesia dan Uni Eropa yang telah terjalin sejak lama. Terlebih saat ini, kita sedang melakukan pembahasan intensif pada perundingan Indonesia-Uni Eropa CEPA (Comprehensif Economic Partnership Agreement)," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya