Perang Dagang Berpotensi Picu AS Menuju Resesi

IMF kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari semula 3,5 persen menjadi 3,3 persen pada 2019.

oleh Bawono Yadika diperbarui 11 Apr 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2019, 15:00 WIB
Ilustrasi bendera Amerika Serikat (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Amerika Serikat (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari semula 3,5 persen menjadi 3,3 persen pada 2019. 

Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global itu menurut IMF disebabkan oleh ketegangan perang dagangdan kebijakan moneter yang semakin ketat oleh the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat.

Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menuturkan, ketegangan perang dagang memang sudah diperkirakan berdampak negatif tak hanya bagi China dan Amerika Serikat (AS), tapi juga bagi perekonomian global. 

Dia menuturkan, panasnya perang dagang bahkan berpeluang membawa Amerika Serikat (AS) kedalam resesi.

"Koreksi yang terus dilakukan oleh IMF dari 3,9 persen menjadi 3,7, kemudian 3,5, hingga menjadi 3,3 persen tidak bisa dilepaskan dari dampak perang dagang. Spekulasi terjadinya resesi di Amerika saya kira juga tidak lepas dari akibat perang dagang," tutur dia saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Kamis (11/4/2019).

Dia menjelaskan, perang dagang juga kini terbukti meningkatkan risiko berinvestasi di bursa saham AS dalam jangka pendek.

"Kalau perang dagang masih terus berlanjut di mana Trump kukuh dengan kebijakannya maka ekonomi Amerika bisa jadi mengalami resesi," ucapnya.

"Inverted yield yang saat ini terjadi di AS juga menunjukkan peningkatan risiko jangka pendek. Menurut saya ini cerminan bagaimana pelaku ekonomi di AS melihat prospek ekonomi AS ditengah perang dagang," tambah dia.

 

IMF Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global

Logo IMF
(Foto: aim.org)

Sebelumnya, The International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2019. Peningkatan ketegangan perdagangan dan kebijakan pengetatan moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menjadi landasan pemangkasan tersebut.

Mengutip CNBC, Rabu (10/4/2019), IMF mengatakan bahwa mereka mengharapkan ekonomi dunia tumbuh di angka 3,3 peren di tahun ini. Angka tersebut turun dari perkiraan sebelumnya yang ada di angka 3,5 persen.

Sedangkan untuk 2020, IMF cukup optimistis dengan memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh di angka 3,6 persen.

Laporan dari IMF ini keluar ketika kongres AS berjuang untuk meloloskan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) yang merupakan perjanjian perdagangan yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump denga mitra Meksiko dan Kanada. Perjanjian ini menggantikan perjanjian sebelumnya yaitu North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA).

Sementara itu, saat ini pemerintahan Presiden Trump juga masih terus berjuang untuk menuntaskan kesepakatan perdagangan dengan China.

"Neraca risiko condong untuk mengarah ke penurunan," tulis laporan IMF.

Kegagalan menyelesaikan perbedaan yang mengakibatkan hambatan tarif yang menyebabkan biaya yang lebih tinggi dari barang setengah jari dan barang jadi. Hal tersebut membuat harga barang menjadi lebih tinggi bagi konsumen.

USMCA ditandatangani pada 30 November, tetapi sampai saat ini belum mendapat persetujuan dari kongres AS.

Kesepakatan ini harus melalui DPR yang dikuasai Demokrat dan dikritik oleh Senator Republik Chuck Grassley.

Jika kesepakatan antara ketiga negara ini gagal, permasalahan ekonomi AS akan sangat besar. Kanada dan Meksiko adalah dua dari tiga mitra dagang AS terbesar dan merupakan 30 persen berkontribusi kepada perdagangan global AS di 2018.

AS juga berusaha untuk mencapai kesepakatan dengan China, mitra dagang terbesarnya. China sendiri menyumbang hampir 16 persen dari perdagangan global AS tahun lalu.

 

ADB Prediksi Ekonomi Asia Melambat Imbas Perang Dagang

Ilustrasi bendera Republik Rakyat China (AP/Mark Schiefelbein)
Ilustrasi bendera Republik Rakyat China (AP/Mark Schiefelbein)

Sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) prediksi pertumbuhan ekonomi Asia melambat pada 2019. Kemudian kehilangan momentum pada 2020.

Hal ini karena risiko ekonomi meningkat seiring perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta ketidakpastian Brexit.

ADB prediksi ekonomi Asia tumbuh 5,7 persen pada 2019. Pertumbuhan ekonomi itu melambat dari proyeksi 5,9 persen pada 2018 dan pertumbuhan 6,2 persen pada 2017.

Perkiraan 2019 itu mewakili sedikit penurunan dari perkiraan Desember sebesar 5,8 persen. Pada 2020, ekonomi Asia diperkirakan tumbuh 5,6 persen. Pertumbuhan ekonomi itu paling lambat sejak 2001.

"Perang dagang yang terjadi antara China dan AS dapat merusak investasi dan pertumbuhan di negara berkembang Asia," ujar Ekonom ADB, Yasuyuki Sawada, seperti dikutip dari laman the Australian.com, Kamis 4 April 2019.

ADB juga melihat ketidakpastian yang berasal dari kebijakan fiskal AS dan Brexit sebagai risiko ke depan. Sentimen itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi negara maju dan prospek ekonomi China.

"Meski pun kenaikan tiba-tiba dalam suku bunga AS tampaknya telah berhenti untuk saat ini. Namun pembuat kebijakan harus tetap waspada di masa yang tidak pasti ini," ujar Sawada.

ADB juga proyeksikan, ekonomi China akan tumbuh 6,3 persen pada 2019. Proyeksi itu tidak berubah dari proyeksi Desember. Akan tetapi, ekonomi China lebih lambat dari ekspansi negara itu 6,6 persen pada 2018. Kemudian ekonomi China akan tumbuh 6,1 persen pada 2020.

Ekonomi China akan didukung dari pemangkasan pajak dan peningkatan pengeluaran negara untuk infrastruktur.

Di luar risiko perdagangan, ADB mengatakan, pertumbuhan China juga dibayangi pembatasan shadow banking, yang diperkirakan membatasi ekspansi kredit.

"Saya harus menekankan walaupun pemerintah ingin menstabilkan pertumbuhan, pemerintah tidak ingin menaikkan tingkat pertumbuhan seperti tahun-tahun sebelumnya ketika Anda melihat paket stimulus besar, seperti pada periode 2008-2009," ujar Ekonom Senior ADB, Jian Zhuang.

Bank-bank China dinilai mungkin masih tetap enggan untuk menurunkan biaya pinjaman bagi sebagian perusahaan. Ini karena kekhawatiran akan meningkatnya risiko gagal bayar korporasi seiring ekonomi yang melambat.

"Bank sentral dapat mengambil tindakan lebih lanjut, seperti memangkas suku bunga pinjaman satu tahun dan suku bunga deposit," tulis ADB.

China telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 6 persen-6,5 persen pada 2019.

 

Asia Selatan dan Tenggara

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Berdasarkan wilayah, ekonomi Asia Selatan akan tetap tumbuh tercepat di Asia Pasifik. ADB perkirakan pertumbuhan 6,8 persen pada 2019.

Angka ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 7,1 persen. Kemudian proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 sebesar 6,9 persen.

Dari perkiraan pertumbuhan 7 persen pada 2018, ekonomi India diproyeksikan tumbuh lebih cepat yaitu sebesar 7,2 persen pada 2019 dan 7,3 persen pada 2020. Ini karena suku bunga lebih rendah dan dukungan terhadap petani seiring meningkatnya permintaan domestik.

Sedangkan pertumbuhan di Asia Tenggara pada 2019 dipangkas menjadi 4,9 persen pada 2019 dari perkiraan sebelumnya 5,1 persen.

Ini karena ADB melihat Malaysia, Filipina, dan Thailand tumbuh melambat dari yang diperkirakan sebelumnya. Ekonomi Asia Tenggara diperkirakan tumbuh lima persen pada 2020.

Selain itu, harga komoditas yang stabil, ADB turunkan perkiraan rata-rata inflasi untuk negara berkembang di Asia menjadi 2,5 persen pada 2019 dari perkiraan sebelumnya 2,7 persen. Kemudian pada 2020 diproyeksikan 2,5 persen.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya