Mitigasi Bencana Jadi Pertimbangan dalam Pemindahan Ibu Kota

Perencanaan pembangunan negara harus memperhatikan aspek mitigasi bencana

oleh Athika Rahma diperbarui 30 Apr 2019, 16:10 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2019, 16:10 WIB
Monas
Banyak hal yang bisa dilakukan di kawasan wisata Monas (Monumen Nasional). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan perencanaan pembangunan negara harus memperhatikan aspek mitigasi bencana.

Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang rawan bencana. Bencana alam di Indonesia meliputi gempa bumi, gunung meletus hingga bencana hidrometeorologi seperti kebakaran, angin puting beliung, banjir dan lainnya.

Perencanaan pembangunan haruslah memikirkan jangka panjang dan upaya mitigasi bencana sendiri.

"Karena kita hidup di daerah rawan bencana, kita harus fokus pada mitigasi bencana. Contohnya Kementerian PUPR saat merencanakan dan membangun infrastruktur harus pertimbangkan apakah kuat terhadap bencana alam yang sering terjadi di lokasi atau tidak," ungkap Bambang di Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Bambang menambahkan, Indonesia tidak bisa lagi menganggap bencana hanya butuh bantuan darurat saja jika sudah terjadi. Akan lebih baik jika segalanya dipersiapkan, termasuk pemulihan pasca bencana karena memakan waktu lama.

Sama halnya dengan menentukan lokasi ibu kota negara, lanjut Bambang, Bappenas harus mempelajari dahulu sejarah bencana daerahnya, mana daerah yang minim resiko bencana dan cocok dijadikan ibu kota negara.

"Berdasarkan data kami, Sumatera bagian timur, Kalimantan dan Sulawesi Selatan punya potensi minim resiko bencana, dilihat dari sejarah bencana alam di Indonesia," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ibu Kota Pindah Bisa Selesai dalam 5-10 Tahun

Sri Mulyani, Yasonna Laoly, dan Bambang Brodjonegoro Rapat Kerja Bersama DPR
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menkumham Yasonna Laoly, dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, Selasa (4/9). (Liputan6.com/JohanTallo)

Demi pemerataan ekonomi dan penyelesaian masalah di berbagai aspek, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui keputusan untuk ibu kota pindah ke luar pulau Jawa.

Menteri PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan, pemindahan ibu kota dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, mulai dari kepadatan penduduk hingga lingkungan.

Jika nanti terealisasi, pemindahan ibu kota bisa diselesaikan dalam dua target waktu, yaitu 5 atau 10 tahun.

"Perbedaannya, kalau 5 tahun ingin selesai tentu aktivitas dan pekerjaan akan lebih besar, begitu pula biayanya," ungkap Bambang di Gedung Bappenas, Selasa (30/4/2019).

Dengan kata lain, pemindahan ibu kota akan lebih lama (10 tahun) jika aktivitas, pekerjaan dan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit.

Sementara, pembiayaan pemindahan ibu kota negara didasarkan pada skema pemindahan yang akan digunakan. Ada 2 skema yang diusulkan Bappenas, yaitu rightsizing ASN dan non-rightsizing.

Rightsizing adalah upaya pemangkasan staf disortir dari kepentingan jabatannya. Jika tidak dibutuhkan, jabatan bisa dihilangkan. Bila skema ini diterapkan, diperkirakan butuh biaya Rp 323 triliun untuk seluruh proses pemindahan.

Sedangkan jika tidak diterapkan, biayanya akan jauh lebih besar, yaitu Rp 466 triliun. Sumber dana rencananya diambil dari APBN, penugasan BUMN, perusahaan swasta dan skema KPBU.

Wapres Usul Ibu Kota Pindah ke Mamuju

Jokowi Pimpin Ratas Bahas Pemindahan Ibu Kota
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Jusuf Kalla saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019). Rencana pemindahan ibu kota dilakukan demi mengurangi tingkat kepadatangan yang sudah membludak di Jakarta. (Liputan6.com/HO/Radi)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Namun sejauh ini belum ada bocoran dimana lokasi ibu kota baru tersebut.

Jokowi menyatakan jika Jusuf Kalla mengusulkan kabupaten Mamuju menjadi ibu kota baru. Hal tersebut diungkapkan saat rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).

"Pak Wapres silakan, tadi bisik-bisik mengusulkan Mamuju," ujarnya setelah berbicara di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).

Presiden Jokowi sudah menyetujui keputusan memindahkan ibu kota ke daerah di luar pulau Jawa. Alasannya beragam, mulai dari kepadatan penduduk, kemacetan, banjir hingga pemerataan ekonomi.

"Ini kita bicara bukan hanya tentang Jakarta, tapi pulau Jawa. Dari data yang saya terima, penduduk Jawa sudah 57 persen total penduduk kita (Indonesia). Sumatera 21 persen, Kalimantan 5 persen, Sulawesi 7 persen, Papua dan Maluku 3 persen. Pertanyaannya, apakah Jawa yang sudah 57 persen mau ditambah sedangkan ada yang masih 6 dan 7 persen?" tuturnya.

Selain itu, Jokowi membahas mengenai kemacetan yang sudah menjalar bukan hanya di Jakarta namun di Pantura. Kemudian, banjir menjadi ancaman yang dapat mengganggu aktivitas.

Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemindahan ibu kota perlu dipikirkan secara matang. "Pertama, ini jangka panjang. Jika pemerintahan pindah maka semua pindah. Kedua, memang lokasi," ungkapnya.

Ibu Kota Pindah, Jakarta Tetap Jadi Pusat Bisnis

Berantas Premanisme, Ombudsman DKI Sarankan Skybridge Tanah Abang Diperluas
Pedagang berjualan di Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) atau Skybridge Tanah Abang, Jakarta, Rabu (23/1). Perluasan Skybridge Tanah Abang dinilai sebagai salah satu upaya memberantas premanisme. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Provinsi DKI Jakarta akan tetap berperan sebagai kota pusat bisnis di tengah rencana pemindahan ibu kota pemerintahan ke kawasan di luar Pulau Jawa.

"Hal-hal yang menyangkut perdagangan, investasi, dan perbankan masih tetap di Jakarta," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dikutip dari Antara, Senin (27/4/2019).

Menurut Anies, pembangunan di DKI Jakarta yang telah direncanakan akan tetap berjalan. Rencana pemindahan ibu kota pemerintahan, lanjutnya, tidak akan mempengaruhi kebijakan pembangunan DKI Jakarta.

"Karena PR-PR nya, masalah daya dukung lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, soal pengelolaan udara, pengelolaan limbah, transportasi masih menjadi PR yang harus diselesaikan," jelas Anies.

Hal senada dikemukakan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Ia mengatakan proyek pembangunan di DKI Jakarta akan terus berlanjut.

"Tadi kita sampaikan juga, kita sedang ingin membangun Jakarta Rp 571 triliun. Ya itu tetap, karena Jakarta tidak akan ditinggal sepi, akan tetap jadi pusat perdagangan," ujar Basuki.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya