Sesar Lembang dan Kisah Danau Instan Sangkuriang

Bandung sebagai salah satu kota di Provinsi Jawa Barat menyimpan potensi bencana yang cukup mengkhawatirkan.

oleh Yopi Makdori diperbarui 28 Apr 2019, 08:11 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2019, 08:11 WIB
Peneliti Geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R Daryono. (Liputan6.com/Yopi Makdori)
Peneliti Geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R Daryono. (Liputan6.com/Yopi Makdori)

Liputan6.com, Bandung - Indonesia dikenal sebagai daerah yang rawan akan bencana alam. Mulai dari gempa bumi, banjir, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, hingga angin puting beliung kerap kali terjadi di negeri ini.

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di halaman webnya, sejak 2018 hingga awal 2019, jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia mencapai 3.877 kali.

Bandung sebagai salah satu kota di Provinsi Jawa Barat menyimpan potensi bencana yang cukup mengkhawatirkan. Di antaranya karena memiliki Sesar Lembang.

Menurut Peneliti Geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R Daryono, total panjang Sesar Lembang mecapai 29 kilometer. Kilometer 0 berada di daerah Padalarang dan kilometer 29 di Ci Meta.

"Terus bagaimana dia bergerak? Simple sekali, jadi ini permainan anak saya gitu. Kita main puzzle kita potong kemudian kita kembalikan ke kondisi semula. Kemudian kita cocokan sungainya yang match sebelah mana utara sama selatan," papar Mudrik, ditulis Minggu (28/4/2019).

Sepanjang penelitian timnya, ungkap Mudrik, Sesar Lembang telah bergerak secara terus menerus dan pergerakan terbesar sepanjang 460 meter. "Satu event gempa bumi, satu event gempa bumi. Terus-menerus sampai sekarang," kata Mudrik.

Dari hasil penelitiannya juga diketahui pergerakan Sesar Lembang tidak selalu horizontal atau miring. Ada juga pergerakan ke atas. Proporsinya masing-masing 80 persen ke kiri dan 20 persennya ke atas atau vertikal.

"Kalau kita ingin tahu berapa besar magnitude, maka kita harus tahu offside terkecil di (Sesar) Lembang. Tetapi data yang kita dapatkan terkecil adalah sekitar 7 mete. Potensi menghasilkan gempa bumi antara magnitude 6,5 sampai 7," jelas Mudrik.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Sangkuriang

Sesar Lembang
Foto: Ilustrasi Sesar Lembang

Mudrik mengemukakan, pergerakan Sesar Lembang sebesar 3 milimeter per tahun. Ia juga menerangkan bahwa kisah Sangkuriang yang masyhur di daerah Parahyangan identik dengan bukti geologis di wilayah tersebut. Yakni penggalan kisah Sangkuriang saat menebang pohon yang membuat bumi bergetar. Menurut legenda, pohon tersebut jatuh ke arah barat.

"Bagian tunggul/batang utama bawah berada di Bukit Tunggul dan bagian atasnya daun-ranting berada di Gunung Burangrang. Kemudian terbentuk danau dalam satu malam, instan. Dan kalau kita tahu pergerakan 20 persen (pergerakan Sesar Lembang secara vertikal) itu menyebabkan sisi selatan naik terhadap sisi utara, apa yang terjadi? Sungai-sungai yang ada di utara terbendung semua dan ini mengakibatkan terbentuk danau instan secara semalam," kata Mudrik.

Kata Mudrik, pernah terjadi gempa bumi di Sesar Lembang pada abad ke-15 masehi.

"Abad 15 sampai sekarang sudah 560 tahun belum pernah bergerak lagi," tuturnya.

Mudrik beserta tim juga telah menghitung siklus gempa bumi di sana, yakni antara 170 sampai 670 tahun. Menurutnya sudah sepanjang 560 tahun belum pernah terjadi lagi gempa di sana.

"Jadi bisa terjadi gempa bumi dalam waktu sekarang atau atau 100 tahun ke depan dari sekarang. Kita tidak tahu kapan akan terjadi," kata Mudrik.

 

Imbuan untuk Pemerintah Setempat

Menurut Mudrik, peta sesar lembang telah terbaca. Sehinggah sudah sepatutnya pemerintah lokal di sana melarang pembangunan pemukiman penduduk di sepanjang jalur Patahan Lembang.

"Jadi kita harus menghindari jalur ini (Sesar Lembang). Pemerintah harus kuat menjalankan aturan ini dilapangan," tegas Mudrik.

Bukan tanpa alasan Mudrik berpesan demikan. Pembangunan pemukiman permanan di sepanjang Patahan Lembang bisa mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang amat besar mana kala sesar ini bergerak.

Namun begitu, menurut peneliti LIPI itu bukan berarti pemerintah sama sekali tidak boleh membangun infrastruktur di daerah sesar lembang. Hal itu boleh dikerjakan asalkan pembangunannya searah dengan arah sesarnya.

"Jalur-jalur ini tetap bisa kita lalui. Kita juga bisa bangun kereta cepat, jalan tol, ga ada masalah. Tetapi kita harus pahami, ini salah satu metode yang dilakukan di San Andreas Fault, di Amerika. Jadi jalan tol ini di bagian tertentu di lokasinya tuh searah dengan arah sesarnya," terang Mudrik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya