Liputan6.com, Jakarta - Harga tiket pesawat untuk rute domestik di Indonesia yang sangat mahal dan tak kunjung turun menjadi keluhan masyarakat. Pemerintah pun terus memutar otak agar harga tiket pesawat bisa turun.
Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencetuskan ide untuk mengundang maskapai asing untuk membuka rute domestik demi menekan harga tiket pesawat.
Baca Juga
"Menurut saya usulan pak Jokowi itu puncak kekesalannya. Yang terjadi saat ini carut marutnya harga tiket pesawat memberi dampak berat buat industri pariwisata," kata Wakil Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Raineir H. Daulay di Jakarta, Rabu, 19 Juni 2019.
Advertisement
Raineir melanjutkan, pantas saja Jokowi kesal karena dengan kasus mahalnya harga tiket pesawat tersebut membuat industri pariwisata tumbang. Kunjungan wisatawan merosot tajam sejak awal tahun seirama dengan mulai mahalnya harga tiket pesawat tersebut. Hal ini pun membuat tingkat hunian hotel anjlok.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, mahalnya tiket pesawat memang telah menyebabkan anjloknya jumlah penumpang pesawat sebesar 20,5 persen (year on year) menjadi 24 juta orang sepanjang Januari-April 2019. Mahalnya tiket pesawat bahkan telah menyumbang andil inflasi 9 persen.
Usul dari Jokowi untuk membuka ruang bagi maskapai asing masuk ke rute domestik tersebut muncul untuk memicu kompetisi agar harga tiket pesawat mencapai satu titik keseimbangan sehingga bisa lebih terjangkau masyarakat.
Sebab, saat ini pemerintah tak bisa memaksa maskapai untuk menurunkan harga tiket pesawat. Menurut aturan, penentuan harga tiket di Indonesia dipengaruhi mekanisme pasar dan keseimbangan antara permintaan dan penawaran serta biaya operasional maskapai.
Intervensi pemerintah untuk harga tiket pesawat hanya berupa penerapan tarif batas atas untuk melindungi konsumen dan tarif batas bawah untuk melindungi maskapai. Sementara keputusan harga tetap ada di tangan maskapai asal tidak melanggar ketentuan tarif batas atas dan tarif batas bawah.
Sebenarnya pemerintah juga tidak tinggal diam. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah menurunkan tarif batas atas antara 12-16 persen pada 13 Mei 2019. Penurunan tarif batas atas tiket pesawat sebesar 12 persen ini akan dilakukan pada rute-rute gemuk seperti rute-rute di daerah Jawa, sedangkan penurunan lainnya dilakukan pada rute-rute seperti rute penerbangan ke Jayapura.
Keputusan penurunan Tarif Batas Atas berlaku efektif sejak ditandatanganinya Peraturan Menteri Perhubungan dengan target 15 Mei 2019. Kemudian dievaluasi secara kontinu berdasarkan regulasi yang berlaku untuk menjaga tarif angkutan penumpang udara bagi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri dengan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan keberlangsungan usaha.
Selain menurunkan tarif batas atas, Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan imbauan kepada maskapai penerbangan nasional untuk menurunkan harga tiket pesawat. Namun imbauan itu tak dijalankan tiap maskapai.
"Saya kemarin sifatnya imbauan untuk menetapkan sub-harga (surprice) atau harga tertentu berjenjang. Tampaknya, imbauan itu tidak dipenuhi secara maksimal," kata Menteri Perhubungan Budi Karya.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono menyatakan, pemerintah akan mengevaluasi secara penuh terkait dengan kondisi tarif tiket pesawat saat ini.
Pada hari ini, Kemenko Perekonomian akan kembali mengundang kementerian, lembaga dan stakeholder atau pemangku kepentingan terkait untuk selesaikan persoalan tiket pesawat.
Suswijono mengatakan, pihaknya bersama dengan kementerian, lembaga akan menyelidiki secara keseluruhan terkait faktor-faktor apa yang menyebabkan tarif tiket pesawat naik. "Terus apa yang bisa bikin signifikan jadi komitmen turunkan itu," imbuh dia.
Kurang Tepat
Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) memandang intervensi pemerintah dalam menurunkan harga tiket pesawat dinilai kurang tepat.
Dalam industri penerbangan internasional, tidak ada pemerintah sebuah negara yang mengatur pentarifan. Semuanya lebih diserahkan ke pasar.
"Pemerintah itu batasannya harusnya sebatas supply dan demand, bukan sejauh ini," tegas Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal INACA Bayu Sutanto kepada Liputan6.com.
Bayu mengusulkan, untuk industri penerbangan harus diperlakukan sama dengan industri jalan tol. Di mana ada lembaga/otoritas yang mengatur ekonomi publiknya, dalam hal ini untuk jalan tol ada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
Dengan diserahkannya harga tiket ke pasar, dinilai Bayu, justru menciptakan industri maskapai yang lebih sehat. Saat low season, maskapai akan menjual harga tiket dengan tarif rendah, sedangkan saat peak season harga tiket tentunya akan lebih tinggi.
Â
Penyebab Tiket Pesawat Mahal
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo menilai duopoli yang tengah terjadi di bisnis penerbangan di Indonesia membuat harga tiket pesawat sulit turun. Size perusahaan dan anak perusahaan yang besar membuat Garuda Indonesia dan Lion Air menjadi sangat dominan.
"Sebenarnya yang terjadi grup Garuda, Citilink, Sriwijaya, Lion Air, Batik, Wings itu tidak ada kompetisi sebetulnya. Karena dari sisi harga, Lion ikuti Garuda," tegas dia.
Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, Sudaryatmo, kehadiran maskapai lain sangat diperlukan untuk menjadi penyeimbang dalam bisnis penerbangan di Indonesia. Dia mencontohkan, Maskapai semacam Air Asia bisa memberikan harga tiket yang lebih rendah dan terjangkau. Sayangnya, market share Air Asia masih kecil.
"Apa bedanya cost mereka? Air Asia kenapa lebih murah? Itu karena Efisiensi. Artinya efisiensi Garuda, Lion di-deliver ke konsumen sehingga tiket turun."
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menilai mahalnya harga tiket saat ini lebih disebabkan oleh inefisiensi di tubuh perusahaan maskapai penerbangan. Inefisiensi, lanjut dia, terjadi baik di tubuh Garuda Indonesia Group maupun Lion Air Group.
"Jadi hanya memang kesalahan kita ada banyak hal. Satu inefisiensi di Garuda, tapi sekarang Garuda sedang memperbaiki, baik itu di Lion juga," ungkapnya.
Sebagai contoh, lanjut Luhut, Garuda dulu pernah melakukan pembelian pesawat yang tidak pas sehingga dampak negatifnya terhadap efisiensi dirasakan saat ini.
"Kita punya di Garuda itu jenis-jenis pesawat yang tidak efisien juga, Bombardier yang dibeli dulu tapi sekarang sudah bisa mulai dijual kembali," ungkap Luhut.
Maskapai fokus kejar keuntungan
Pengamat Penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati menilai, tingginya harga tiket pesawat saat ini salah satunya disebabkan oleh pihak maskapai dalam negeri yang mengejar keuntungan demi menambal kerugian pada tahun-tahun sebelumnya.
Dia pun menepis dugaan banyak pihak yang menganggap praktik kartel dan duopoli perusahaan penerbangan besar, yakni Lion Air Group dan Garuda Group, sebagai penyebab kenaikan tiket pesawat.
Berdasarkan data yang dihimpun pada 2017, sektor industri penerbangan nasional sebesar 96 persen memang hanya dikuasai oleh dua grup maskapai, yakni Lion Air Group (50 persen) dan Garuda Group (46 persen).
"Tapi bukan pengaruh kartel atau duopoli. Itu karena semua serempak main tarif di batas atas untuk menghapus kerugian 2-3 tahun sebelumnya," ujar dia kepada Liputan6.com.
Lebih lanjut, ia menceritakan, maskapai penerbangan berbiaya rendah atau Low Cost Carrier (LCC) seperti Lion Air mulai terlahir sejak 2001 dan terus berkembang baik sampai dengan 2018. Namun, tak sedikit perusahaan yang kemudian mati akibat faktor perang harga antar maskapai lokal, seperti Adam Air, Merpati Air, hingga Batavia Air.
"Ini akibat salah satunya perang harga. Juga melihat kinerja keuangan maskapai tahun 2016 ,2017, 2018, mayoritas rapornya masih merah," jelas dia.
Maka dari itu, Arista mengatakan, seluruh maskapai di Indonesia sejak Januari 2019 menjual tarif pesawat di batas atas serta menawarkan single class tanpa varian harga seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Ini yang diterima masyarakat. Harga naik tidak sama seperti tahun 2018 lalu. Kenapa terjadi? Karena semua maskapai di Indonesia tahun 2019 menargetkan mulai meraih profit, dan harga yang di-set up masih dalam koridor tarif batas atas PM Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019," sambungnya.
Advertisement
Harga Avtur Ikut Dongkrak Harga Tiket Pesawat?
Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan harga tiket pesawat mahal, salah satunya adalah harga avtur.
Menurutnya, selama ini maskapai di Indonesia dihadapkan tingginya harga avtur. Namun di sisi lain, maskapai tidak bisa langsung begitu saja menaikkan harga tiket pesawat. Hal ini menyebabkan manajemen harus melakukan berbagai efisiensi. Belum lagi, dijelaskan Ari, setiap pembelian avtur di Indonesia, maskapai dikenakan PPn sebesar 10 persen.
"Jadi kita tidak bisa kalau bersiang di luar negeri. Bersyukur kita punya pasar tradisional seperti ke Singapura, Jeddah, Madinah. Bagaimana bisa bersaing kalau komposisi harga rata-rata saja jauh di bawah," Ari menambahkan.
Namun, hal tersebut langsung ditepis oleh PT Pertamina (Persero). Vice Presiden Coorporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, mahalnya harga tiket pesawat tidak bisa dihubungkan dengan harga Avtur yang dijual Pertamina, sebab perusahaan telah menurunkan ‎harga avtur.
"Harga avtur Pertamina kan mengalami penurunan, dikomper dengan kenaikan harga tiket saja,"‎ ata Fajriyah, saat berbincang denga Liputan6.com.
Fajriyah pun mengklaim harga Avtur yang dijual Pertamina di Bandarang Soekarno Hatta sebesar Rp9.022 per liter paling murah jika dibandingkan dengan badan usaha penjual avtur dibeberapa negara.
Adapun badan usaha lain tersebut adalah Shell di Bandara Narita Tokyo Rp 15.993 per liter, Shell di Manila Rp 13.327 per liter, Shell di Singapura Rp 11.851 per liter, Shell di Hongkong‎ Rp11.031 per liter dan Shell di Kualalumpur Rp 9.956 per liter.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, ‎berdasarkan data yang dimilikinya, harga avtur yang dijual di dalam negeri sudah kompetitif dengan negara-negara lain.‎ Bahkan jauh lebih murah dibanding beberapa negara.
"Saya kira penilaian tersebut perlu dilihat lebih jauh," kata Komaidi saat berbincang dengan Liputan6.com.
Komaidi menuturkan, porsi avtur dalam komponen pembentukan harga tiket sekitar 20 persen, sehingga biaya bahan bakar hanya memiliki sedikit peran dalam menentuan harga tiket pesawat.
"Artinya ada 80 persen biaya lain yang semestinya lebih menentukan besaran harga tiket penerbangan," ujar dia.
Â
Nilai Tukar Ikut Jadi Penyebab
Pengamat penerbangan Arista Atmadjati mengatakan, nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga jadi salah satu faktor utama melambungnya harga tiket.
"Banyak faktor yang masih bikin mahal (harga tiket pesawat), utamanya sekarang pergerakan kurs dolar AS yang tidak terkendali. Sangat merepotkan maskapai," ujar dia.
Ini disebutkannya lantaran 70 persen biaya maskapai Tanah Air belanjanya dari impor luar negeri, sehingga bergantung terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
"Beban maskapai di Indonesia, biaya operasionalnya tinggi dan uncontrolable-nya sangat tinggi. Utamanya kurs dolar AS, 70 persen biaya maskapai dibeli dengan dolar AS," jelasnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan penyebab utama mahalnya tiket pesawat karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga avtur yang dibayar dalam valas. JK menilai tingginya harga tiket pesawat sudah mempertimbangkan dua unsur, yaitu konsumen dan perusahaan.
"Kita juga mengetahui mereka itu membayar dengan dolar, beli pesawat dengan dolar, membeli avtur dengan dolar tapi tarifnya rupiah. Maka mau tidak mau harus ada penyesuaian-penyesuaian secara bertahap karena kalau tidak bisa saja kita nikmati hari ini begitu banyak pesawat terbang tapi kita tahu juga berapa banyak usaha yang bangkrut dan berhenti," kata JK.
Â
Advertisement
Agen Travel Online Ikut Andil
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan alasan lain penyebab harga tiket mahal. Bahkan beberapa waktu lalu sempat viral harga tiket pesawat Bandung-Medan sampai Rp 21 juta. Menurutnya, harga yang tawarkan tersebut sangat tidak masuk akal.
Tulus mengatakan, meskipun harga yang dipatok tersebut untuk penerbangan kelas bisnis, akan tetapi ada hal yang mengganjal. Sebab, atas mahalnya harga tiket ini, pesawat tidak terbang langsung ke tempat tujuan melainkan transit dulu di kota lain. Itu sama saja penumpang membeli tiket untuk lebih dari satu penerbangan.
"Bagaimana tidak mahal dan melambung, karena rutenya berputar-putar, dan kelas bisnis pula. Masa jurusan Bandung-Medan harus berputar dulu ke Bali, lalu ke Jakarta, baru ke Medan? Ini saya kira ulah online travel agent (OTA) yang menyesatkan konsumen," kata Tulus.
Tulus menilai, rute penerbangan yang ditawarkan agen online tidak rasional atau sengaja untuk menguras kantong konsumen. Maka dari itu, dirinya meminta agar pihak agen online tidak memberikan rute tujuan penerbangan yang membuat konsumen bingung dan heboh.
"Kelas bisnis pesawat memang harganya bisa berlipat lipat dari kelas ekonomi, apalagi diputar-putar pula. Tiket kelas bisnis atau eksekutif di pesawat, bahkan di bus AKAP, tidak diatur oleh pemerintah. Yang diatur hanya kelas ekonomi, via Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB)," jelasnya.
Â
Â
Maskapai Asing Bukan Solusi
Pengamat Penerbangan, Ziva Narendra menyebutkan membuka pintu bagi maskapai asing bukan merupakan solusi untuk menurunkan harga tiket pesawat yang saat ini dinilai terlalu mahal oleh masyarakat.
Dia menegaskan, maskapai asing belum tentu tertarik dengan rute domestik di Tanah Air. Kecuali untuk destinasi favorit dan dinilai potensial misalnya tempat wisata seperti Denpasar Bali.
"Kemudian untuk rute lain seperti Medan, Balikpapan, Makassar, apakah menarik buat maskapai asing," kata dia.
Wakil Ketua Umum Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Budijanto Ardiansyah coba mengingatkan pemerintah agar jangan terlalu sembrono membuka pintu bagi maskapai asing masuk ke Tanah Air. Ditambah, masuknya maskapai asing belum tentu bisa menurunkan harga tiket pesawat saat ini.
"Harus dilihat dulu regulasinya. Kalo terlalu bebas saya kurang setuju juga karena menyangkut kedaulatan dirgantara kita. Aspeknya banyak, jadi harus dibahas satu-satu," ujar dia kepada Liputan6.com.
Terkait perubahan tarif batas atas dan tarif batas bawah oleh pemerintah, Budijanto menilai, regulasi itu bukan berarti telah menyelesaikan perkara harga tiket. Sebab sebenarnya masih banyak komponen biaya penunjang operasi maskapai yang harus diperbaiki.
"Mekanismenya memang sudah diatur oleh pemerintah melalui TBB dan TBA. Hanya menurut saya memang masih banyak komponen penunjang operation airlines yang harus dibenahi oleh maskapai," tuturnya.
Â
Advertisement