Salut, Warga Facebook Sumbang Rp 28,1 Triliun untuk Amal

Mengungkap sisi mulia para warga Facebook.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 22 Sep 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2019, 18:00 WIB
Mark Zuckerberg menikmati matahari terbenam di atas paddle di Danau Tahoe.
Mark Zuckerberg menikmati matahari terbenam di atas paddle di Danau Tahoe. Dok: Instagram @Zuck

Liputan6.com, Menlo Park - Pernahkah kamu melihat suatu pos di Facebook mengenai pasien penyakit kronis atau anak sekolah yang harus menghidupi orang tuanya? Biasanya pos tersebut disertai link agar pengguna Facebook bisa menyumbang dana demi meringankan beban orang tersebut.

Bila pernah menyumbang, berarti kamu adalah satu dari 45 juta warga Facebook yang ikut menyumbang uang sejak tahun 2015. Selama empat tahun, terkumpul dana sumbangan USD 2 miliar yang setara Rp 28,1 triliun (USD 1 = Rp 14.070) di Facebook.

Dilaporkan CNET, Facebook melaporkan uang sumbangan itu mengalir ke berbagai organisasi nirlaba (non-profit), baik itu yang menolong anak kecil pengidap kanker, memberantas kelaparan, hingga untuk penelitian penyakit.

"Jumlah itu sangat penting. Tetapi yang lebih penting adalah orang-orang mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, dan mereka (pengguna) membantu komunitas-komunitas mereka," ujar Emily Dalton Smith, direktur produk dampak sosial Facebook.

Salah satu contohnya adalah kampanye No Kid Hungry mengaku berhasil menyediakan 100 juta makanan dari Juli 2018 sampai Juni 2019 berkat pengguna Facebook.

Facebook menambah fitur penggalangan dana sejak 2015. Fitur itu bisa untuk organisasi amal maupun gerakan pribadi. Facebook mengatakan terinspirasi dari Ice Bucket Challenge untuk membantu penelitian penyakit ALS yang membatasi gerak manusia.

Emily Dalton Smith berkata akan terus mengumpulkan feedback dari organisasi nirlaba. Fitur penggalangan dana pun akan dikembangkan sesuai kebutuhan organisasi-organisasi tersebut.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Facebook Kucurkan Rp 140 Miliar untuk Deteksi Video Deepfake

Mark Zuckerberg
CEO Facebook Mark Zuckerberg (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Salah satu tantangan bagi perusahaan teknologi di era kecerdasan buatan adalah risiko dari kehadiran video deepfake.

Apa itu video deepfake? Video deepfake merupakan kabar misinformasi atau hoaks yang beredar dalam format video.

Jika hoaks atau kabar misinformasi saja sudah jadi masalah, video deepfake lebih parah lagi. Pasalnya, video deepfake sulit untuk dideteksi dan diverifikasi apakah video sungguhan atau sudah dipalsukan. 

Bagi perusahaan teknologi besar pun, sulit untuk mendeteksi deepfake, apalagi kini banyak software canggih yang mampu mengubah video dan membuat video deepfake pun kian mudah.

Untuk itulah, Facebook bermitra dalam hal kecerdasan buatan dengan Microsoft dan perwakilan beberapa lembaga untuk menemukan teknologi yang mampu membantu mengungkap keaslian video deepfake.

Untuk mendorong ini, Facebook meluncurkan proyek Deepfake Detection Challenge.

Menurut laman ai.facebook.com, tujuan proyek ini adalah menghasilkan teknologi yang bisa dipakai tiap orang untuk mendeteksi ketika sebuah video telah diubah menggunakan AI.

Mengutip International Business Times, Kamis (19/9/2019), Facebook telah berkomitmen akan mengeluarkan setidaknya USD 10 juta atau setara Rp 140 miliar untuk mendanai proyek Deepfake Detection Challenge dan upaya lain untuk mengatasi hoaks.

Dana ini akan menjadi hadiah dan hibah penelitian yang tersedia untuk mendorong upaya pengembangan teknologi.

CEO Facebook Sampai Minta Maaf karena Hoaks

Facebook Minta Maaf via Surat Kabar
Seorang pria membaca iklan berisi permintaan maaf di sebuah surat kabar Inggris, 25 Maret 2018. CEO Facebook Mark Zuckerberg meminta maaf terhadap skandal Cambridge Analytica menggunakan iklan di sembilan surat kabar Inggris dan AS. (Oli SCARFF/AFP)

Hoaks dan misinformasi telah jadi masalah besar bagi Facebook dalam beberapa tahun terakhir.

Pasalnya, platform media sosial terbesar di dunia ini kerap digunakan untuk menyebarkan hoaks.

Bahkan, CEO Facebook Mark Zuckerberg telah meminta maaf kepada Kongres Amerika Serikat lantaran merasa Facebook tidak melakukan cukup upaya untuk mencegah peredaran hoaks di platform mereka.

Sementara itu, deepfake menambah tantangan baru bagi perusahaan teknologi dan Facebook. Pasalnya, kini video telah jadi sarana yang banyak dipakai orang untuk bebagi berita dan konten lainnya melalui media sosial.

Dengan agenda Pilpres AS tahun 2020 mendatang, Facebook memiliki tenggat waktu yang makin sempit untuk menemukan solusi masalah video deepfake ini. Apalagi, selama ini platform dibayangi dengan hoaks seputar pemilu 2016.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya