MUI Tak Mau Kewajiban Sertifikasi Halal Beratkan UMKM

Hingga 2018 lalu, terdapat sebanyak 11.249 perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 21 Sep 2019, 20:31 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2019, 20:31 WIB
Halal Park Senayan
Pengunjung melihat produk UMKM dari Rumah Kreatif BUMN (RKB) binaan BNI saat Launching Halal Park di Senayan Jakarta, Selasa (16/4). Halal Park yang akan bertransformasi menjadi Halal Distrik didesain menjadi ekosistem bagi pelaku industri gaya hidup halal di Tanah Air. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) per 17 Oktober 2019 nanti akan mewajibkan seluruh produk, termasuk hasil produksi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) untuk bersertifikat halal.

Namun begitu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) khawatir penerapan kebijakan tersebut pada akhirnya akan mengganggu laju pertumbuhan UMKM, sehingga pasar domestik kemudian dibanjiri oleh produk buatan UMKM luar.

"Itu yang harus kita antisipasi. Jadi kebijakan penerapan itu harus ditilik juga, bukan hanya sekedar kesiapan, tapi impact dari penerapan itu apakah bisa meningkatkan laju pertumbuhan UMKM atau tidak," ungkap Ketua MUI bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat Lukmanul Hakim di Jakarta, Sabtu (21/9/2019).

Adapun berdasarkan catatan MUI, hingga 2018 lalu, terdapat sebanyak 11.249 perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal. Mayoritas merupakan perusahaan-perusahaan berlabel besar.

Lukmanul menjelaskan, selama ini proses penerbitan sertifikat halal yang dikeluarkan MUI biasa diproses sekitar 43 hari. Dia mengatakan, keputusan baru tersebut nantinya bakal memperberat pelaku usaha dengan sejumlah prosedur tambahan guna meraih label halal untuk produknya.

Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI ini menambahkan, satu perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.500.000 untuk bisa meraih sertifikat halal.

Dengan adanya tambahan prosedur penerbitan label halal, ia menyebutkan, beban biaya yang harus ditanggung para pelaku UMKM bakal semakin membesar. Oleh karenanya, ia meminta pemerintah untuk lebih ikut terlibat di dalamnya.

"Itu pasti berat lah untuk UMKM. Makanya kita dulu mendorong undang-undang itu. Tujuannya agar pemerintah punya pintu masuk dalam ikut campur, dalam konteks salah satunya adalah pembiayaan," tegas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jokowi Minta Penerapan Wisata Halal di Labuan Bajo Tidak Dipaksakan

Presiden Jokowi meninjau rencana pengembangan Bandara Komodo setibanya di Labuan Bajo, NTT. Rabu (10/7/2019)
Presiden Jokowi meninjau rencana pengembangan Bandara Komodo setibanya di Labuan Bajo, NTT. Rabu (10/7/2019).(Liputan6.com/ Lizsa Egeham)

Presiden Jokowi angkat bicara soal polemik rencana penerapan pariwisata halal di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penerapan wisata halal yang dicanangkan oleh Badan Otorita Pariwisata (BOP) tersebut, ditolak oleh Pemprov NTT dan masyarakat Labuan Bajo.

 Jokowi menyebut bahwa sejatinya penerapan wisata halal harus memberikan manfaat serta memprioritaskan warga setempat. Sehingga, dia meminta agar penerapannya tak dipaksakan, jika tidak memberikan keuntungan untuk para warga. 

"Kalau masyarakat enggak mau, stop. Sudah. Saya sampaikan kalau tidak, stop. Gampang. Disini juga ada Bupati, ada Gubernur," ucap Jokowi kepada wartawan di kawasan Puncak Waringin Provinsi NTT, Rabu (10/7/2019).

Penerapan wisata halal di Labuan Bajo-Flores juga mendapat penolakan dari Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT). Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mengecam rencana label wisata halal di Labuan Bajo.

Menurut dia, menjadikan Labuan Bajo sebagai kawasan wisata halal sama dengan mendatangkan konflik pada bisnis pariwisata yang bisa merambat ke konflik sosial lainnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya