Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan biaya BPJS Kesehatan sebanyak 100 persen kurang mendapat respons positif dari pengusaha. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani berkata kenaikan premi ini bisa membuat pihak pengusaha cemas.
Shinta berkata pihak pengusaha memahami mengapa iuran BPJS harus naik, akan tetapi ia menilai momentum kenaikan iuran juga tidak tepat, pasalnya bisnis sedang mengalami perlambatan. Kenaikan iuran BPJS kesehatan juga terjadi di tengah ancaman krisis global antara tahun 2020-2021 yang diprediksi para ekonom internasional.
Advertisement
Baca Juga
"Momentumnya tidak tepat. Pelaku usaha saat ini sedang dihadapkan pada kondisi yang sulit. Pasar kita sedang melemah di dalam dan di luar negeri dan dalam waktu satu sampai dua tahun ke depan semua analis ekonomi memproyeksikan adanya krisis global karena indikator-indikator krisis sudah semakin jelas, termasuk di Indonesia ada pelemahan dan stagnasi pertumbuhan ekonomi domestik," jelasnya Liputan6.com, Senin (4/11/2019).
Hal lain yang disorot Shinta adalah adanya upah minimum pada tahun 2020. Naiknya upah dan iuran BPJS Kesehatan pada tahun yang sama pun dikhawatirkan memberi dampak ke pengusaha yang selama ini masih terkekang beban-beban regulasi.
Biaya tenaga kerja pun dikhawatirkan semakin mahal karena naiknya iuran BPJS Kesehatan. Itu dinilai belum proporsional dengan kenaikan produkvitas maupun skill tenaga kerja yang masih stagnan.Â
"Kami harap pemerintah mengatur momentum kenaikan BPJS agar tidak dilakukan pada masa-masa pasar dan pertumbuhan ekonomi kita melemah karena ini hanya memperburuk beban kinerja perusahaan," ujar Shinta.
Wanita yang juga aktif di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ini pun berharap agar tidak ada lagi kenaikan BPJS hingga 100 persen. Pemerintah pun diminta bisa memperbaiki model bisnis BPJS agar ada keseimbangan antara manfaat, beban iuran, serta adanya mekanisme menjaga BPJS Kesehatan dari defisit.
"Pelaku usaha berharap BPJS tidak lagi naik sampai 100 persen dan memiliki periode review yang lebih jelas serta mekanisme review yang lebih transparan," tegasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
IDI Pesimis Kenaikan Iuran Bakal Dongkrak Layanan BPJS Kesehatan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyoroti kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menurutnya tidak ikut mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan. Sebab, langkah itu dilakukan lembaga hanya untuk memangkas defisit saja.
"Ini saya kira kenaikan iuran ini tidak serta merta terdampak pelayanan, karena konsepnya membicarakan menyelesaikan defisit," pungkas dia.
Adapun berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, hingga 30 September 2019, total rumah sakit mitra lembaga mencapai 2.520. Di sisi lain, lembaga masih menunggak pembayaran ke sekitar 80 persen rumah sakit mitra.
Artinya, ada 2.016 rumah sakit yang tunggakannya belum dibayar oleh BPJS Kesehatan.Â
Akibatnya, jumlah tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit mitra per Agustus 2019 diperkirakan mencapai Rp 11 triliun lebih. Jumlah itu akan terus bertambah lantaran adanya denda 1 persen dari jumlah utang setiap bulannya.
Advertisement
Data BPJS Watch
Sebelumnya, BPJS Watch sempat melaporkan kepada Liputan6.com, ada sederet beban yang akan dialami peserta akibat kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pertama, potensi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri yang menjadi non-aktif atau tidak membayar iuran.
Data BPJS Watch mencatat, pada 30 Juni 2019, peserta mandiri yang non-aktif ada sebanyak 49,04 persen. Kenaikan iuran tersebut dipercaya akan turut meningkatkan jumlah peserta non-aktif.
Selain itu, ada pula kemungkinan menurunnya pendapatan iuran dari para peserta. Sebab, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini diyakini akan membuat keinginan peserta untuk membayarnya jadi menurun.
Bahkan, terdapat juga potensi migrasi kelas kepesertaan dari kelas I dan II ke kelas III. Sebagai catatan, kelas III naik dari semula Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. sementara kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu.