Buruh: Skema Upah per Jam di Negara Maju Saja Ditolak

Penerapan upah per jam harus memenuhi beberapa syarat dan kriteria terlebih dahulu.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Des 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 28 Des 2019, 17:00 WIB
Pabrik gula milik PTPN. Dok Kementerian BUMN
Ilustrasi buruh. Dok Kementerian BUMN

Liputan6.com, Jakarta Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI, Said Iqbal angkat bicara mengenai wacana upah kerja per jam.

Negara-negara industri maju memang telah menetapkan sistem pengupahan per jam, sebagaimana yang akan diatur oleh pemerintah Indonesia melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Namun, kata dia, buruh di mayoritas negara maju pun menolak skema upah per jam tersebut. "Upah per jam itu ada, mayoritas negara industri maju itu menggunakan sistem upah per jam. Tapi dia harus mensyaratkan beberapa hal," kata dia, di Kantor LBH Jakarta, Sabtu (28/12/2019).

Dia menilai penerapan upah per jam harus memenuhi beberapa syarat dan kriteria terlebih dahulu. Diantaranya adalah jika pasokan dan permintaan terhadap tenaga kerja rendah.

Artinya, perekonomian negara tersebut telah mencapai titik keseimbangannya lantaran lapangan kerja sangat terbuka.

"Dengan kecilnya itu orang pindah-pindah kerja gampang karena tersedianya lapangan kerja, angka pengangguran kecil dengan demikian upah per jam bisa mengukur produktifitas. Indonesia kan enggak punya itu," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, sistem pengupahan tersebut pada dasarnya hanya dapat menyasar sektor-sektor pekerjaan tertentu. Pengupahan dengan sistem per jam tersebut ditegaskannya tidak bisa digeneralisir untuk seluruh jenis pekerjaan.

"Menteri Ketenagakerjaan bilang hanya yang jam kerja nya 35 jam doang, sektor apa yang mau di sasarkan enggak jelas. Jadi sektor mana yang mau di sasar. Menteri ini paham enggak?," ujarnya.

Selain itu, dengan adanya skema upah per jam pemerintah nantinya masih tidak dapat menghitung produktivitas dari para pekerja.

Sebab, sebelum sistem tersebut di terapkan, negara-negara industri maju telah memiliki sistem perhitungan antara upah per jam yang diberikan dengan produktivitas yang dihasilkan pekerja.

Sumber: Merdeka.com

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

 

Tolak Omnibus Law, Buruh Ancam Gelar Demo di 16 Januari

Buruh
Konferensi Pers Butuh. Merdeka.com/Yayuk Agustinu R

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keberadaan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Penolakan tersebut ditandai dengan adanya ancaman untuk melakukan demo nasional pada 16 Januari 2020 mendatang.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan buruh di seluruh Indonesia akan melakukan demo secara bersamaan pada hari tersebut.

"Kita bakal demo nanti tanggal 16 Januari," kata dia, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Sabtu (28/12/2019). 

Rencananya, jumlah buruh yang akan meramaikan aksi demo nasional mencapai ratusan ribu orang dan tersebar di 20 provinsi di Tanah Air.

"Secara nasional itu yang kita kumpulkan seratusan ribu orang di 20 provinsi dan 200 kabupaten/kota, khusus yang di Jakarta itu kira-kira 20rb - 30rb an orang," ujarnya.

Adapun omnibus law tersebut merevisi Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

"Soal omnibus law ini tentunya kita ingin DPR berpihak kepada buruh, dan tidak meloloskan revisi tersebut," ujarnya.

Dia mengungkapkan salah satu tuntutan KSPI yang akan diangkat dalam isu tersebut adalah terkait wacana perubahan sistem upah menjadi per jam.

Bila aturan ini diterapkan, mereka menilai pemerintah secara tidak langsung berencana menghapus prinsip upah minimum.

Padahal, kata dia, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003.

"Kalau diterapkan berarti pemerintah melanggar aturan yang sudah ditetapkan dalam ILO ini," tutupnya.

Sumber: Merdeka.com

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya