RUU Omnibus Law Kurangi Obesitas Regulasi Pertambangan, Benarkah?

Pasal-pasal di Omnibus Law Cipta Kerja khususnya sektor pertambangan masih memiliki frasa yang multitafsir

oleh Athika Rahma diperbarui 24 Feb 2020, 19:00 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2020, 19:00 WIB
Pemerintah Serahkan Draft RUU Omnibus Law
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, Menkumham Yasonna Laoly, Menteri KLHK Siti Nurbaya, Menaker Ida Fauziyah dan Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menyerahkan draft RUU Omnibus Law kepada Ketua DPR Puan Maharani, Jakarta, Rabu (12/2/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Staff Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Sektor Minerba Irwandy Arif menyatakan, pencanangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dapat mengurangi kompleksitas regulasi di Indonesia.

Dalam paparannya di forum Diskusi Polemik RUU Cipta Kerja di Sektor Pertambangan Minerba di Jakarta, Senin (24/02/2020), Irwandy menyatakan regulasi dan perizinan di Indonesia sudah "obesitas".

"Saat ini ada 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemda. Regulasi jadi hambatan paling utama di samping hambatan fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia," papar Irwandy.

Kebalikan dengan Irwandy, peneliti Auriga, Iqbal menyatakan bahwa pasal-pasal di Omnibus Law Cipta Kerja khususnya sektor pertambangan masih memiliki frasa yang multitafsir sehingga membuatnya lebih sulit dipahami.

"Izin usaha nggak ada, yang ada Izin berusaha. Maksudnya seperti apa? Banyak frasa terlewati juga, masih ada frasa izin usaha yang belum dihapus di RUU, yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Apakah lupa dihapus atau bagaimana? Kan ini penting, bisa jadi celah kelemahan regulasi," ujar Iqbal.

Lebih lanjut, banyak pula pasal-pasal yang sebetulnya tidak perlu diubah atau dibuat namun ditulis dalam frasa yang baru, di RUU Omnibus Law, sehingga menurutnya malah kalimat baru ini akan membuat regulasi jadi lebih "obesitas".

"Makanya jadi kalau dilihat-lihat, ini sama sebenarnya, nggak usah ditulis ulang, kan jadi salah tafsir, malah membuat jadi hiper regulasi," kata Iqbal mengakhiri.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pemerintah Bantah Omnibus Law Hilangkan Upah Minimum

Pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR, Rabu (12/2/2020).
Pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR, Rabu (12/2/2020). (Merdeka.com/ Ahda Baihaqi)

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pembinaam Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang, menegaskan bahwa tidak ada penghapusan upah minimum dalam RUU Omnibus Law Cipta karya.

"Jadi upah minimum itu tidak dihilangkan, tapi ada upah provinsi," ujarnya dalam IDX Economic Forum, Senin (24/02/2020).

Selanjutnya, Haiyani juga menjabarkan bahwa tidak ada penghapusan cuti, hak perlindungan, serta jam kerja.

"Terkait dengan pembayan upah dan cuti dan sebagainya itu kami menyederhanakan saja dalam penyusunan RUU ini," terangnya.

Haiyani menambahkan, untuk jam kerja nantinya ada penyesuaian. Sebab, menurutnya ada beberapa jenis pekerjaan yang memang memerlukan waktu tertentu, bisa kurang atau lebih dari ketentuan yang berlaku saat ini, yaitu 8 jam dalam satu hari (Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003).

Sebelumnya, ada beberapa poin dalam omnibus law yang menjadi kontroversi, diantaranya:

- Hilangnya upah minimum

- Hilangnya pesangon

- PHK sangat mudah dilakukan

- Karyawan kontrak seumur hidup

- Jam kerja eksploitatif

- TKA buruh kasar unskill berpotensi besar masuk Indonesia

- Hilangnya jaminan sosial

- Sanksi pidana hilang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya