Pemerintah Bantah Omnibus Law Hilangkan Upah Minimum

Ketenagakerjaan juga memastikan tidak ada penghapusan cuti, hak perlindungan, serta jam kerja.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 24 Feb 2020, 15:10 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2020, 15:10 WIB
Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pembinaam Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang, menegaskan bahwa tidak ada penghapusan upah minimum dalam RUU Omnibus Law Cipta karya.

"Jadi upah minimum itu tidak dihilangkan, tapi ada upah provinsi," ujarnya dalam IDX Economic Forum, Senin (24/02/2020).

Selanjutnya, Haiyani juga menjabarkan bahwa tidak ada penghapusan cuti, hak perlindungan, serta jam kerja.

"Terkait dengan pembayan upah dan cuti dan sebagainya itu kami menyederhanakan saja dalam penyusunan RUU ini," terangnya.

Haiyani menambahkan, untuk jam kerja nantinya ada penyesuaian. Sebab, menurutnya ada beberapa jenis pekerjaan yang memang memerlukan waktu tertentu, bisa kurang atau lebih dari ketentuan yang berlaku saat ini, yaitu 8 jam dalam satu hari (Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003).

Sebelumnya, ada beberapa poin dalam omnibus law yang menjadi kontroversi, diantaranya:

- Hilangnya upah minimum

- Hilangnya pesangon

- PHK sangat mudah dilakukan

- Karyawan kontrak seumur hidup

- Jam kerja eksploitatif

- TKA buruh kasar unskill berpotensi besar masuk Indonesia

- Hilangnya jaminan sosial

- Sanksi pidana hilang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ada Omnibus Law, Jam Kerja Buruh Bakal Dieksploitasi?

Buruh yang tergabung dalam KSPSI menggelar aksi tolak omnibus law Cipta Lapangan Kerja
Buruh yang tergabung dalam KSPSI menggelar aksi tolak omnibus law Cipta Lapangan Kerja (dok: KSPSI)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut ada 9 alasan mengapa omnibus law harus ditolak. Sembilan alasan tersebut antara lain hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, outsourcing bebas diterapkan di core bisnis, kerja kontrak tanpa batasan waktu.

Kemudian, waktu kerja yang eksploitatif, TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, mudah di PHK, jaminan sosial terancam hilang, dan sanksi pidana hilang.

Terkait dengan pernyataannya yang menyebut omnibus law mengatur jam kerja yang eksploitatif, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan beberapa alasan. 

Alasan pertama, di dalam RUU Cipta Kerja tidak lagi diatur waktu kerja 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja atau 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. Dengan kata lain, UU No 13 Tahun 2003 mengatur, waktu kerja dilakukan 5 atau 6 hari kerja.

Tetapi di dalam omnibus law Cipta Kerja, tidak ada lagi ketentuan mengenai 5 dan 6 hari kerja. "Dalam omnibus law hanya disebutkan, waktu kerja paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu," kata Said Iqbal.

Karena tidak ada batasan hari, lanjutnya, bisa saja pekerja dipekerjakan 10 jam dalam sehari selama 4 hari. Asalkan totalnya 40 jam.

"Selain itu, karena menggunakan frasa paling lama 8 jam 1 hari. Bisa saja hanya dipekerjakan 4 jam dalam sehari (kurang dari 8 jam), dan upahnya dibayar per jam atau berdasarkan satuan waktu," tegas Iqbal.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya