Ada Omnibus Law, Jam Kerja Buruh Bakal Dieksploitasi?

Menurut KSPI, dalam omnibus law Cipta Kerja, tidak ada lagi ketentuan mengenai 5 dan 6 hari kerja.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 22 Feb 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2020, 12:00 WIB
Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut ada 9 alasan mengapa omnibus law harus ditolak. Sembilan alasan tersebut antara lain hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, outsourcing bebas diterapkan di core bisnis, kerja kontrak tanpa batasan waktu.

Kemudian, waktu kerja yang eksploitatif, TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, mudah di PHK, jaminan sosial terancam hilang, dan sanksi pidana hilang.

Terkait dengan pernyataannya yang menyebut omnibus law mengatur jam kerja yang eksploitatif, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan beberapa alasan.

Alasan pertama, di dalam RUU Cipta Kerja tidak lagi diatur waktu kerja 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja atau 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. Dengan kata lain, UU No 13 Tahun 2003 mengatur, waktu kerja dilakukan 5 atau 6 hari kerja.

Tetapi di dalam omnibus law Cipta Kerja, tidak ada lagi ketentuan mengenai 5 dan 6 hari kerja. "Dalam omnibus law hanya disebutkan, waktu kerja paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu," kata Said Iqbal.

Karena tidak ada batasan hari, lanjutnya, bisa saja pekerja dipekerjakan 10 jam dalam sehari selama 4 hari. Asalkan totalnya 40 jam.

"Selain itu, karena menggunakan frasa paling lama 8 jam 1 hari. Bisa saja hanya dipekerjakan 4 jam dalam sehari (kurang dari 8 jam), dan upahnya dibayar per jam atau berdasarkan satuan waktu," tegas Iqbal.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lebihi Ketentuan Waktu Kerja

Buruh yang tergabung dalam KSPSI menggelar aksi tolak omnibus law Cipta Lapangan Kerja
Buruh yang tergabung dalam KSPSI menggelar aksi tolak omnibus law Cipta Lapangan Kerja (dok: KSPSI)

Alasan kedua, di dalam omnibus law juga diatur, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan waktu kerja untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Dengan kata lain, ketentuan ini melegalkan jam kerja melebihi 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.

"Meskipun dikatakan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerinta, namun hal ini membuka celah terjadinya jam kerja yang eksploitatif," sebut pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini.

Ketiga adalah mengenai waktu kerja lembur. Dalam omnibus law, lembur paling banyak 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam 1 minggu. Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, lembur hanya boleh 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

Menurut Iqbal, mempekerjakan buruh mebihi dari waktu kerja harus dihindari, agar buruh punya waktu yang cukup untuk istirahat.

Kalau buruh diminta bekerja lebih lama, bagaimana dia bisa beristirahat cukup?

Oleh karena itu, buruh Indonesia dan KSPI dengan tegas menolak omnibus law secara keseluruhan. Pihaknya meminta Pemerintah dan DPR RI secara arif dan bijaksana tidak mengesahkan beleid yang berpotensi mendegradasi kesejahteraan kaum buruh ini.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya