Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak mentah dunia sudah beberapa pekan turun drastis. Bahkan terakhir sudah menyentuh USD 25 per barel.
Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda Pemerintah bakal menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di tanah air. Padahal, sesuai dengan ketentuan yang dibuat, harga BBM non subsidi diserahkan ke mekanisme pasar.
Baca Juga
Menurut Direktur Lembaga Bantuna Hukum (LBH) Konsumen Indonesia Firman Turmantara Endipradja, bila harga minyak mentah dunia naik, otomatis harga BBM non subsidi di dalam negeri ikut naik. Sebaliknya, bila harga minyak mentah dunia turun, otomatis harga BBM non Subsidi dalam negeri harus mengikutinya.
Advertisement
"Saat harga minyak dunia naik, harga BBM non subsidi dalam negeri langsung dinaikan. Namun, saat harga minyak dunia turun, harga BBM non subsidi dalam negeri tidak turun. Jika benar harga BBM non subsidi ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, seharusnya harga BBM sekarang sudah jauh-jauh hari diturunkan," kata Firman dalam keterangan resmi yang diterima oleh Liputan6.com, Bandung, Selasa, 28 April 2020.
Selain itu kata Firman, turunnya harga BBM sangat realistis. Selain harga minyak dunia turun juga permintaan BBM dalam negeri turun akibat kebijakan Work From Home, Social/Physical Distancing, Lockdown.
Firman mengungkapkan harga minyak dunia anjlok hingga USD 25 per barel, setidaknya harga BBM dalam negeri bisa turun hingga 35 persen dari harga sekarang. Dengan tidak menurunkan harga BBM non subsidi dalam negeri lanjut Firman, pemerintah telah menghalangi hak rakyat dalam mendapatkan harga BBM yang semestinya.
Dalam kondisi darurat seperti sekarang terang Firman, harusnya pemerintah meringankan beban rakyat dengan menurunkan harga BBM. Upaya ini dapat mengurangi beban ekonomi rakyat dalam menghadapi kebijakan pemerintah dalam penanganan dampak pandemi Corona.
"Pemerintah harus menjalankan amanat konstitusi yaitu untuk mensejahterakan rakyat (welfarestate) sehingga semua kebijakan yang dibuat harus untuk kepentingan rakyat. Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah menentukan pijakan Negara untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya," ujar Firman.
Perlindungan Konsumen
Namun faktanya ungkap Firman, selama ini pemerintah melalui Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) memposisikan diri sebagai pelaku usaha dan rakyat sebagai konsumen. Dalam perspektif Hukum Perlindungan Konsumen BUMN tergolong sebagai pelaku usaha.
Dengan kata lain tutur Firman, pemerintah selain sebagai regulator juga sebagai pelaku usaha. Sehingga tidak heran jika yang jadi prioritas adalah mencari keuntungan bukan pelayanan publik atau kesejahteraan rakyat.
"Contoh terkait rendahnya pelayanan, kelangkaan dan tarif komoditas publik. Kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan rakyat sebagai konsumen menjadi tidak seimbang dan berada pada posisi yang lemah. Rakyat sebagai konsumen bisa menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan," sebut Firman.
Konsideran UU RI Nomor 8 Tahun 1999 ttg Perlindungan Konsumen (UUPK) menyebutkan, semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya di pasar.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan Penjelasan UUPK menyebutkan tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.
"Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen," terang Firman.
Advertisement
Bertentangan dengan UUD
Firman mengatakan jika pemerintah bersikukuh tidak menurunkan harga jual BBM, maka hal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal tersebut dikatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Firman menuturkan persoalan tidak diturunkannya harga BBM di Indonesia, setelah harga BBM dunia turun bisa menjadi persoalan serius. Paling tidak kata Firman menyangkut hak politik, ekonomi dan sosial yang akan menjadi sorotan dunia.
"Karena semua orang di dunia tahu harga minyak mentah dunia turun yang tidak pernah terjadi selama dalam sejarah harga minyak serendah ini. Tapi mengapa harga BBM di Indonesia tidak turun," tegas Firman.
Firman menerangkan dalam konstitusi terdapat dua hal yang harus dijalankan, yaitu kewajiban konstitusional pemerintah dan hak konstitusional rakyat. Pelanggaran terhadap penurunan harga BBM dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusi sekaligus pelanggaran atas hak asasi rakyat sebagai konsumen. (Arie Nugraha)