Kenali Ciri-Ciri Investasi Bodong Berkedok Koperasi, Apa Saja?

Tercatat terdapat 158 fintech yang telah terdaftar di OJK, dan semuanya tidak ada yang berbadan hukum koperasi

oleh Tira Santia diperbarui 11 Jan 2021, 20:54 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2020, 12:00 WIB
Podcast Bisnis Liputan6.com: Tips Hindari Jebakan Investasi Bodong.
Podcast Bisnis Liputan6.com: Tips Hindari Jebakan Investasi Bodong.

Liputan6.com, Jakarta - Satgas Waspada Investasi mencatat, data entitias ilegal tahun 2017-2020 terdapat 158 fintech yang telah terdaftar di OJK, dan semuanya tidak ada yang berbadan hukum koperasi. Sehingga apabila terdapat koperasi yang melakukan fintech, maka hal tersebut adalah ilegal.

"Beberapa tahun belakangan jumlah lembaga keuangan ilegal berbasis digital mengalami tren perkembangan, dengan perkiraan total kerugian masyarakat dari tahun 2009 hingga 2019 mencapai angka Rp 92 triliun. Kerugian masyarakat tersebut tidak di-cover oleh aset yang disita dalam rangka pengembalian dana masyarakat," kata Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK Tongam L. Tobing, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/7/2020).

Ia menyebut, maraknya investasi ilegal disebabkan banyaknya permintaan masyarakat akan jasa keuangan, yang diikuti dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan investasi ilegal, penawaran bunga tinggi, dan penggunaan tokoh agama, tokoh masyarakat serta selebriti sebagai media propaganda agar masyarakat bergabung dalam investasi tersebut.

Lalu, modus penipuan berkedok koperasi memiliki ciri sebagai berikut, pertama, penawaran melalui berbagai media seperti SMS (link atau nomor telepon), situs, media sosial, Google Play Store, atau Apps Store.

"Kedua, menggunakan nama 'KSP' atau 'koperasi', namun tidak memiliki pengesahan Badan Hukum dan/atau izin usaha dari kementerian yang berwenang," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ciri Selanjutnya

Ilustrasi investasi Bodong
Ilustrasi investasi Bodong (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Ketiga, pencatutan nama koperasi berizin dan/atau terkenal sehingga menimbulkan rasa percaya. Keempat, menyatakan “Sudah Terdaftar atau Diawasi," seakan-akan sudah dalam pengawasan instansi berwenang.

Kelima, menggunakan logo koperasi Indonesia atau Kementerian Koperasi dan UKM, seakan-akan benar-benar berbentuk koperasi atau berkaitan dengan kementerian. Keenam, berbadan hukum, tapi kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip koperasi.

Ia menekankan perlu adanya database tentang tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap koperasi. Keberadaan database dimaksudkan sebagai bahan penyusunan strategi kebijakan.

Selain itu, penanganan penipuan berkedok koperasi di daerah diupayakan secara kolaboratif, dimana Pemerintah pusat memberikan asistensi apabila diperlukan.

 

Bertindak Cepat

ilustrasi-koperasi
ilustrasi-koperasi

Kata dia, harus didorong untuk bertindak secara cepat dan tegas terhadap praktik penipuan berkedok koperasi, guna menghindari meluasnya permasalahan dan semakin besarnya kerugian masyarakat.

"SWI mendorong daerah mengambil langkah-langkah: mendatangi atau mengundang koperasi/oknum untuk mendapatkan klarifikasi (shock therapy); melakukan penghentian operasional; dan melakukan tindakan represif berupa pelaporan kepada kepolisian atas tindakan melanggar hukum sehingga menimbulkan efek jera," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya