6 Dampak Covid-19 Terhadap Perusahaan Pembiayaan

APPI Suwandi Wiratno memaparkan ada 6 hal dampak pandemi covid-19 yang merugikan industri pembiayaan.

oleh Tira Santia diperbarui 12 Agu 2020, 16:40 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2020, 16:40 WIB
FOTO: Bank Indonesia Yakin Rupiah Terus Menguat
Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Rupiah secara point to point pada triwulan II 2020 mengalami apresiasi 14,42 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno memaparkan ada 6 hal dampak pandemi covid-19 yang merugikan industri pembiayaan.

Pertama, restrukturisasi pembiayaan kepada debitur menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan pembiayaan.

“Restrukturisasi dampaknya cukup besar tapi memang di sini adalah saatnya kita bergotong-royong kita saling membantu, bukan merupakan tugas industri pembiayaan saja tetapi seluruh apa namanya bagian yang mempunyai ikatan dan kaitan dengan pinjam-meminjam tentu harus melakukan hal ini,” kata Suwandi dalam webinar Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal, Rabu (12/8/2020).

Kedua, penagihan. Kesulitan  menagih angsuran kepada debitur dikarenakan dampak covid-19 maupun larangan Pemerintah daerah terhadap Perusahaan Pembiayaan maupun industri lainnya.

Ketiga, terkait pinjaman. Perusahaan pembiayaan tetap harus melakukan pembayaran cicilan kepada perbankan atas hutangnya, namun begitu besar jumlah customer-customer yang melakukan restrukturisasi.

“Tidak serta-merta perusahaan pembiayaan juga dalam  tanda kutip mungkin langsung saja memelas kepada perbankan, bahwa begitu besar banyaknya orang yang mengajukan restrukturisasi minta direstrukturisasi,”ujarnya.

Kata dia, memang ada beberapa yang melakukan restrukturisasi itu bukan karena urusan pembiayaannya tidak sehat, tapi mereka berusaha untuk mengelola cash flow.  

Kemudian, dampak keempat yakni sumber dana perbankan menghentikan pencairan dana kepada Perusahaan Pembiayaan yang mengakibatkan mengalami masalah likuiditas.

 “Ini yang perlu kembali lagi bahwa kepada big brother saya dalam hal ini perbankan, banyak memang pada saat awal menghentikan pencairan dana walaupun sebenarnya komitmen dananya masih ada,” katanya.

Kelima, pembiayaan baru berkurang karena daya beli masyarakat dan likuiditas pembiayaan yang ketat menjadi hak yang paling penting.

Terakhir,  soal peningkatan non-performing Financing (NPF) akibat kemampuan membayar debitur berkurang dan berkurangnya pembiayaan baru.

“NPF meningkat karena kemampuan membayar debitur, pembiayaan baru dan pembaginya berkurang, itu adalah indikasi yang wajar dan mungkin NPF gross nya cukup tinggi daripada perbankan,” katanya.

Namun, Suwandi yakin Perusahaan pembiayaan sudah melakukan pencadangan, karena mau tidak mau auditor juga akan meminta kepada Perusahan Pembiayaan untuk melakukan pencadangan.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Waspada, Kredit Bermasalah Gelombang Dua

20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Industri pembiayaan (multifinance) tak luput dari dampak pandemi virus corona (Covid-19). Di era Pandemi ini, multifinance harus rela melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap para nasabahnya yang terkena dampak langsung Covid-19, mulai dari penundaan pembayaran cicilan, hingga perpanjangan tenor pembiayaan.

Berdasarkan hasil monitoring Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 11 Agustus 2020, progress penerapan program restrukturisasi terhadap debitur yang terdampak Covid-19 mencakup 4.823.271 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp150,43 triliun dan bunga sebesar Rp38,03 triliun.

Bambang W. Budiawan, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK menyebut, kontrak yang permohonannya masih dalam proses sebanyak 350.140 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp16,34 triliun dan bunga sebesar Rp3,90 triliun.

“Kontrak yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan untuk dilakukan restrukturisasi sebanyak 4.187.726 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp124,34 triliun dan bunga sebesar Rp31,73 triliun,” tuturnya dalam Webinar Infobanktalknews bertema Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal: “Menahan Goncangan Lewat Stimulus Kebijakan OJK”, Rabu (12/8/2020).

Sementara itu, lanjutnya, kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp9,75 triliun dan bunga sebesar Rp2,40 triliun.

Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) secara masif.

Namun, restrukturisasi ini sejatinya bukanlah solusi terakhir, karena setelahnya, ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai Multifinance.

Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami bank sebagai source of funding terbesar mutifinance, tentu, multifinance harus mencari alternatif pendanaan lainnya.

“Lalu selain dari adanya restrukturisasi juga dari sisi cashflow akan susah bertumbuh kalau cashflow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman,” sambung Bambang.

OJK mencatat ada 144 perusahaan pembiayaan dari total 182 perusahaan pembiayaan yang memiliki pendanaan dari kreditur, di mana 26 di antaranya telah mengajukan restrukturisasi ke para krediturnya. Untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kinerja industri perusahaan pembiayaan terap positif, OJK berniat untuk memperpanjang program restrukturisasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya