Faisal Basri: Tak Benar Biodiesel Mampu Kurangi Defisit Neraca Perdagangan

Faisal Basri menjelaskan, salah satu tujuan pengembangan biodiesel adalah untuk menekan impor minyak, sehingga memperbaiki transaksi perdagangan.

oleh Tira Santia diperbarui 31 Agu 2020, 12:45 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2020, 12:45 WIB
Seminar Reformasi Pajak
Ekonom FEUI, Faisal Basri saat Seminar Reformasi Pajak di Jakarta, Senin (30/10). Seminar ini mengupas isu-isu terkait kelanjutan proses reformasi di bidang perpajakan, aspek kebijakan publik serta amandemen UU Perpajakan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri mengatakan bahwa biodiesel bukan solusi untuk mengurangi defisit perdagangan energi Indonesia. Selama ini pemerintah mendorong program biodiesel dengan minyak kelapa sawit untuk mengurangi impor minyak maupun Bahan Bakar Minyak (BBM).

Ia menjelaskan salah satu tujuan pengembangan biodiesel adalah untuk menekan impor minyak, sehingga memperbaiki transaksi perdagangan dan current account defisit. Namun, kenyataannya justru bertolak belakang.

“Untuk menghemat, agar uang kita tidak terlalu banyak untuk mengimpor maka diperkenalkan biodiesel. Itung-itungan kami berdasarkan opportunity cost boro-boro menghemat dan mengurangi defisit perdagangan, akibat dari kebijakan biofuel ini malahan naik defisit perdagangannya, dari tahun 2018 Rp 72,1 triliun, dan 2019 Rp 85,2 triliun, jadi tidak benar kalau biofuel itu membantu neraca perdagangan,” jelas Faisal Basri dalam diskusi bersama dengan Komisi VI DPR RI, secara virtual di Jakarta, Senin (31/8/2020).

Selain itu, petani sawit sangat dirugikan karena harga sawit ditingkat petani semakin tertekan, pengusaha biodiesel menikmati rente (zero sum game). “Jadi petani penderita keuntungannya diambil pengusaha biodiesel,” ujarnya.

Lanjutnya, subsidi beralih dari BBM menjadi subsidi Biodiesel. Dana BPDPKS bulan depan habis, akibatnya subsidi sudah dianggarkan tahun ini untuk program B30 sebesar Rp 2,78 triliun menjadi atas nama pandemi.

“Pandemi dijadikan alat memberikan subsidi untuk biofuel karena dana BPDPKS nya habis,” ujarnya.

Maka menurutnya butuh tambahan lahan sekitar 5 juta hektare untuk merealisasikan program B30 dan B40. “lahan darimana lagi, lahan di Indonesia sudah habis,” pungkas Faisal Basri.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:

Biaya Bangun Kilang Biodiesel Lebih Mahal Dibanding Konvensional, Ini Sebabnya

RU IV Cilacap, Kilang BBM Terbesar di Indonesia Milik Pertamina
Perahu kayu membawa muatan melintas di dekat kilang minyak Pertamina Refenery Unit IV Cilacap, Rabu (7/2). Kilang Pertamina RU IV Cilacap merupakan satu dari enam unit pengolahan minyak milik PT. Pertamina di Indonesia. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sebelumnya, perkembangan pembangunan biorefinery atau kilang biodiesel di Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Salah satunya biaya yang cukup mahal jika dibanidngkan dengan pengembangan kilang konvensional.

"Untuk perkembangan biorefinery ini ada beberapa hal yang menjadi faktor, sehingga kondisi capex dan opex lebih tinggi dibandingkan kita mengelola fossil fuel, atau konvensional fuel," ujar VP Refining Business Development PT Kilang Pertamina International, Prayitno, Kamis (2/7/2020).

Prayitno menyebutkan feedstock dari CPO mengandung TAN (Total Acid Number) lebih tinggi dibandingkan fosil, sehingga kualitas metallurgy equipment harus lebih tinggi.

Adapun biorefinery atau kilang biodiesel ini mengacu pada eksplorasi biomassa untuk diproduksi menjadi bahan bakar, energi, dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kehidupan.

"Kedua, heat release lebih banyak. Jadi ketika suatu komponen direaksikan, akan menghasilkan panas di reaktornya itu lebih tinggi dibandingkan ketika kita mengolah fossil fuel. Kondisi demikian membutuhkan sistem recycle dan pendinginan di kilang itu lebih banyak," jelas dia.

Ketiga, kandungan oksigen di feed yang tinggi. Rantai kimia CPO mengandung oksigen, sehingga saat reaksi akan banyak melepas CO2 dan H2O yang mengharuskan penambahan sistem untuk menampung dan mengelola CO2 dan H2O.

Terakhir, keempat, yakni kebutuhan hidrogen yang sangat besar. Pengolahan CPO menjadi green fuel memerlukan hidrogen yang jauh lebih besar dibandingkan mengolah fosil. Sehingga dibutuhkan H2 plant khusus untuk memasok kebutuhan hydrogen.

"Hal-hal itu menyebabkan biorefinary ini memerlukan capex biaya investasi dan biaya dan biaya operasi atau opex yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsevnsional fuel," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya