BI dan OJK Dinilai Tak Beri Perlindungan Hukum ke Konsumen soal Fintech

BPKN menilai perusahaan pembiayaan berbasis teknologi (fintech) yang dilakukan otoritas masih belum memberikan kepastian hukum bagi konsumen

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Des 2020, 14:23 WIB
Diterbitkan 08 Des 2020, 14:23 WIB
100 Lebih Perusahaan Ramaikan Fintech Summit and Expo 2019
Pengunjung melihat barcode fintech pada Indonesia Fintech Summit and Expo (IFSE) 2019 di JCC Jakarta, Senin (23/9/2019). IFSE digelar sebagai upaya OJK dan Bank Indonesia selaku regulator untuk mengembangkan peran fintech dalam meningkatkan inklusi keuangan masyarakat. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim menilai, pengaturan perusahaan pembiayaan berbasis teknologi (fintech) yang dilakukan otoritas masih belum memberikan kepastian hukum bagi konsumen. Baik itu melalui peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Kami memandang ini belum ada respon yang mumpuni dengan kasus yang masuk ke BPKN," kata Rizal pada Forum Diskusi Salemba dengan tema Menimbang Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi Covid-19, Jakarta, Selasa (8/12/2020).

Berbagai pengaduan yang masuk, menunjukkan masih banyak pelanggaran terhadap nasabah. Antara lain berupa pencurian data pribadi, penetapan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi sampai dengan penagihan yang intimidatif.

Rizal mengatakan pihaknya telah berupaya untuk menjalin komunikasi dengan OJK. Namun belum ada respon yang cukup membantu bagi konsumen.

Dalam hal ini kata Rizal, OJK hanya mengawasi perusahaan fintech yang telah terdaftar dan memiliki izin usaha. Sementara selebihnya, bukan menjadi wilayah pengawasan OJK.

"OJK hanya mengawasi fintech yang legal, selebihnya itu bukan jadi pengawasan dari OJK," kata Rizal.

Padahal banyak pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh perusahaan fintech ilegal. Seharusnya, OJK bisa melaporkan perusahaan fintech ilegal dan melaporkannya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika.

"Harusnya ini dikerjasamakan dengan Kominfo untuk di-take down fintech ilegal yang beredar setiap hari di masyarakat kita," ungkapnya.

Selain itu, berdasarkan temuan dari Satgas Waspada Investasi OJK juga menunjukkan 50 persen penyelenggara fintech asing illegal ini berasas dari 3 negara besar yang beroperasi di Indonesia. Mereka merupakan perusahaan yang berasal dari China, Amerika Serikat, Singapura dan malaysia.

"Ini yang terjadi di masyarakat Indonesia yang berpotensi merugikan konsumen," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

BPKN: Banyak Fintech Langgar Aturan saat Ajukan Izin di OJK

Ilustrasi Fintech
Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Hasil investigasi yang dilakukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menunjukkan, masalah antara masyarakat dan perusahaan pembiayaan (fintech) terjadi di masa sandbox. Periode sandbox ini merupakan rangkaian proses mendapatkan izin bagi perusahaan fintech kepada OJK.

"Sepanjang periode sandbox ini banyak persoalan yang terjadi. Mungkin salah satunya kasus fintech yang sering terjadi akhir-akhir ini," kata Ketua BPKN Rizal Edy Halim dalam Forum Diskusi Salemba dengan tema Menimbang Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi Covid-19, Jakarta, Selasa (8/12/2020).

Rizal menuturkan periode ini merupakan salah satu masa bagi OJK untuk menentukan pemberian izin bagi perusahaan pembiayaan. Setelah perusahaan pembiayaan mendaftar ke otoritas, OJK akan memberi masa percobaan selama satu tahun yang disebut sandbox.

Usai masa ujicoba ini berakhir, OJK lalu melakukan evaluasi. Bila sudah sesuai kriteria yang telah ditetapkan, barulah OJK akan memberikan izin bagi perusahaan tersebut.

"Jadi mendaftar dulu, ada periode satu tahun yang mereka boleh beroperasi. Setelah dievaluasi OJK, nanti diputuskan diberi izin atau tidak," tutur Rizal.

Sayangnya kata Rizal, selama masa percobaan ini banyak pelanggaran yang dilakukan perusahan pembiayaan. Umumnya pelanggaran terhadap hak konsumen.

"Dalam proses ini banyak pelanggaran terhadap hak-hak konsumen," kata dia.

Sehingga, menurutnya proses uji coba ini perlu kembali dievaluasi. "Ini nanti akan kita bangun komunikasinya dengan kasus yang ada di masa sandbox ini," kata dia.

Adapun beberapa persoalan P2P Lending di Indonesia yang tercatat di BPKN antara lain keberadaan perusahaan yang ilegal dan melakukan penagihan utang dengan intimidasi dan melanggar hak privasi dari nasabah selaku konsumen. Konsumen mendapat denda tagihan dengan bunga yang sangat besar.

Sistem keamanan yang belum memberikan hak atas kenyamanan kepada nasabah. Sehingga di era digital ini sangat memungkinkan penyalahgunaan informasi secara mudah atau kebocoran data.

Sebagai informasi, saat ini hanya ada 155 perusahaan pembiayaan yang terdaftar atau berizin di OJK. Sementara itu sejak tahun 2018, Satgas Waspada Investasi sudah menghentikan 2.840 entitas fintech peer to peer (P2P) yang tidak memiliki izin dari OJK.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya