Pemerintah Perlu Guyur Insentif agar Target EBT 23 Persen Tercapai

Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Indonesia mengalami berbagai tantangan.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jan 2021, 14:36 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2021, 14:35 WIB
Pemanfaatan Tenaga Surya Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif
Teknisi melakukan perawatan panel pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (6/8/2019). PLTS atap yang dibangun sejak 8 bulan lalu ini mampu menampung daya hingga 20.000 watt. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Indonesia mengalami berbagai tantangan. Maka tak mengherankan bauran energi baru terbarukan hanya mencapai 11,51 persen pada 2020, meleset dari target sebesar 13 persen.

Head Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menuturkan progres energi baru terbarukan di Indonesia tertinggal dari negara lain. Secara bauran masih jauh dari target yang ingin dicapai pada 2025, yaitu sebesar 23 persen.

Abra menilai salah satu masalahnya adalah regulasi tidak konsisten. "Pemerintah harus konsisten. Regulasi itu tidak hanya dari sisi penawaran, tapi juga permintaan. Ketika kebijakannya tidak konsisten, EBT jadi tidak menguntungkan dan sulit berkembang," kata Abra di Jakarta, Jumat (29/1/2021).

Dia mengatakan, pemerintah cukup serius mengajak masyarakat menggunakan kendaraan listrik karena bisa mengurangi emisi. Namun di sisi lain, pasokan listrik untuk mengisi daya kendaraan listrik, masih dari batubara. Menurut dia, ini salah satu contoh inkonsistensi pemerintah.

"Dari permintaan didorong seolah EBT, tapi listriknya dari batubara. Kebijakannya harus konsisten, artinya dari sisi suplai harus EBT seperti biomassa, surya, biogas, dan sebagainya," kata dia.

Abra melanjutkan, apabila ingin mengakselerasi EBT, pemerintah harus memberikan insentif pada sektor ini. Sebab investasi pembangkit EBT masih tergolong mahal dibandingkan pembangkit batubara. Insentif yang dimaksud Abra tidak harus berupa fiskal.

Menurutnya, insentif non-fiskal seperti konsistensi regulasi juga perlu dimaksimalkan. Selain itu, pemerintah harus mampu memfasilitasi agar suplai EBT bisa terserap pasar domestik. Dia melihat hal ini bisa menjadi salah satu bentuk afirmasi dari pemerintah terhadap investor dan produsen EBT.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pembiayaan EBT Jangan Rusak Lingkungan

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Gedung Airport Operation Control Center (AOCC) Bandara Soekarno Hatta
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Gedung Airport Operation Control Center (AOCC) Bandara Soekarno Hatta (dok: AP II)

Meskipun membutuhkan investasi relatif besar, pembiayaan berkelanjutan di sektor EBT di Indonesia masih relatif kecil. Namun, beberapa lembaga keuangan mulai menggelontorkan pembiayaannya ke sektor ini.

Terkait pendanaan perbankan ke sektor EBT, Abra mengatakan, hal itu telah diatur POJK 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan. POJK ini meminta perbankan meningkatkan portofolio pembiayaan, investasi, atau penempatan pada instrumen keuangan atau proyek yang sejalan dengan penerapan keuangan berkelanjutan.

Di sisi lain, dengan diwajibkannya pembiayaan berkelanjutan, Abra menilai perbankan harus melakukan pengawasan terhadap pembiayaan jenis ini. Sebab, pembiayaan berkelanjutan juga mencakup perkebunan kelapa sawit dengan program B30.

"Misalnya sawit yang nantinya diolah jadi B30 atau biodiesel, pemanfaatan lahannya seperti apa. Sejauh mana lahan yang sudah ada, bukan lahan perluasan terutama lahan dari area hutan," tuturnya.

Sehingga, meskipun perbankan membiayai perkebunan, perbankan harus memastikan hal tersebut tidak merusak lingkungan yang ada.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya