Kisah Miliarder Kate Wang, Tajir dari Rokok Elektrik yang Nasibnya Kini di Tangan Pemerintah China

Miliarder Kate Wang mendapat kekayaannya dari bisnis rokok elektrik. Ia menjadi salah satu dari sedikit miliarder independen wanita di China.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Apr 2021, 21:41 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2021, 21:00 WIB
Rokok Elektrik
Ilustrasi Rokok Elektrik atau Vape (iStockphoto)
Liputan6.com, Jakarta Sempat menempuh pendidikan di Columbia University, bekerja untuk raksasa ojek online China Didi Chuxing, hingga akhirnya memulai bisnisnya sendiri. Kate Wang, CEO dari perusahaan rokok elektrik terbesar China RLX kini menapaki menuai kesuksesan dan kekayaan sebagai miliarder.
 
Wang memulai membangun RLX pada 2017. Kelihaiannya melihat peluang pasar, berhasil membawa perusahaannya menguasai lebih dari 60 persen pasar rokok elektrik di China hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Ini berdasarkan data dari lembaga konsultan yang berbasis di Shanghai, China Insight Consultancy.
 
Selain itu, bisnisnya juga cukup resilien di tengah musim paceklik perekonomian global setahun terakhir. Seperti dikutip dari Forbes, Jumat (15/4/2021) saat banyak perusahaan merugi, RLX justru melaporkan peningkatan pendapatan hingga 147 persen selama tahun 2020, sekitar USD 585 juta atau hampir Rp 8,5 triliun (Kurs rerata rupiah tahun 2020, USD 1 = Rp 14.525).
 
Ini baru permulaan. Bisnisnya diproyeksikan akan meroket lebih cepat. Pasalnya konsumen rokok elektrik yang sedang berkembang saat ini, masih mengambil porsi kecil dari total perokok yang ada di negeri tirai bambu.
 
Konsumen rokok elektrik baru sekitar 2 persen dari total 308 juta perokok yang ada di China. Potensi pasar ini bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, dengan jumlah perokok 34 juta dan sepertiganya sudah terkoneksi dengan rokok elektrik.
 
Dengan masa depan yang menjanjikan dan bisnisnya yang sedang tumbuh subur, Wang kemudian membawa perusahaannya melantai di bursa saham New York pada 22 Januari yang lalu.
 
Dari hasil IPO tersebut, perusahaan mendapatkan dana segar baru USD 1,4 miliar atau lebih dari Rp 19 triliun (Kurs Januari USD 1 = Rp 14.050). Serta membawa perusahaannya mencapai kapitalisasi mendekati USD 35 miliar atau sekitar Rp 491 triliun.
 
Bukan hanya itu, berkat IPO jumbo RLX, Wang dan tiga pendiri perusahaan lainnya berhasil melipat gandakan kekayaannya dan masuk jajaran orang paling kaya dunia.
 
Di hari yang sama saat perusahaan go-public, kekayaan miliarder Kate Wang tercatat sekitar USD 9,1 miliar atau sekitar Rp 127 triliun, menjadikannya salah satu dari sedikit miliarder wanita asal China.
 
Sayangnya, Wang tampaknya saat ini tidak semujur yang dialaminya tiga bulan silam. Tidak berselang lama pasca IPO, bisnis RLX yang semakin tumbuh mulai menapaki babak baru, regulasi ketat pemerintah China siap menguji ketangguhan Wang mempertahankan bisnisnya.
 

Siap-Siap Dijegal Pemerintah

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)
Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)
Wang dan para pendiri RLX masih menikmati euforia kemenangan pasca IPO yang membawa perusahannya makin sukses. Tapi kondisi berbalik di penghujung Maret yang lalu, saat regulator China mulai mangincar untuk mengendalikan pasar RLX.
 
Regulator China mulai menggodok aturan baru yang rencananya akan memasukkan rokok elektrik sebagai bagian dari produk tembakau, atau setara dengan rokok konvensional. Dengan begini, pasarnya akan mulai dikendalikan China Tobacco, lembaga yang khusus menangani perdagangan produk tembakau.
 
Aturan baru tersebut berpotensi mempengaruhi pendapatan perusahaan, pasalnya sebagian besar dari total perdagangan RLX berasal dari pasar domestik China.
 
“Peraturan yang lebih ketat akan menghancurkan pasar rokok elektrik domestik,” kata Patricia Kovacevic, seorang pengacara yang mengkhususkan diri pada penanganan perusahaan tembakau dan rokok elektrik.
 
Usai munculnya rencana tersebut, RLX mulai merasakan dampaknya. Harga saham RLX di bursa New York terpangkas Hingg 54 persen dalam kurun waktu perdagangan 55 jam terhitung 22 Maret. Hal ini membuat perusahaan kehilangan USD 16 miliar kapitalisasinya. Belum termasuk penurunan yang masih berlanjut di minggu-minggu berikutnya.
 
Kekayaan sang bos juga ikut terdepresi. Wang yang memegang 20 persen saham perusahaan dan memiliki kekayaan USD 9,1 miliar saat IPO, kini nilainya tersisa USD 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Kekayaannya hangus hampir 70 persen hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan.
 
Meski begitu, perusahaan tampaknya tidak begitu khawatir dengan ancaman ini. Pasalnya ketentuan baru pemerintah tersebut masih belum jelas terkait sejauh mana akan mengatur perdagangan rokok elektrik. Perusahaan juga berencana mengajukan tanggapannya kepada regulator di akhir bulan ini.
 
"Dalam industri tembakau tradisional, volume dan harga penjualan rokok semuanya ditentukan oleh China Tobacco," kata Charlie Chen, Kepala Riset Konsumen di perusahaan investasi Beijing, China Renaissance.
 
"Jika ini diterapkan pada rokok elektrik, maka itu akan menghilangkan semua nilai perusahaan rokok elektrik, tetapi itu adalah skenario yang sangat tidak mungkin," tambahnya.
 

Ketidakpastian Pasar AS

Patung Liberty
Patung Liberty (Ronile/Pixabay).
Sekalipun sangat bergantung pada perdagangan di pasar domestik, RLX juga mulai mengincar pasar internasional di luar China, terutama di AS.
 
Secara manajemen, RLX terbagi ke dalam dua anak usaha, yaitu RLX yang fokus pada perdagangan China, dimana Wang memiliki saham mayoritas di dalamnya. Serta secara terpisaha, RELX Internasional, yang mana Wang hanya berperan sebagai direktur dan tidak punya saham sedikit pun.
 
RELX Internasional telah menjangkau 18 pasar internasional, mulai dari Korea Selatan, Rusia, Inggris hingga Indonesia.
 
Tahun lalu, Wang merekrut Donald Graff, mantan peneliti di perusahaan rokok elektrik Juul untuk bergabung dengan perusahaannya. Sementara, pasar AS memiliki catatan buruknya dengan Juul, yang sejak 2018 hingga sekarang terus terlilit kontroversi akibat efek samping rokok elektrik buatannya terhadap kesehatan.
 
Bersama Graff, RELX Internasional berencana mempersiapkan permohonan produk tembakau pra-pasar (PMTA) kepada Food and Drug Administration (FDA), regulator AS yang mengurusi izin peredaran obat dan makanan. Ahli melihat rencana ini tampaknya akan sulit, pasalnya AS juga punya aturan yang ketat terhadap perdagangan rokok elektrik.
 
“Pengajuan PMTA memiliki tingkat kompleksitas yang hampir sama dengan persetujuan obat. Skenario kasus terbaik mereka adalah akhir 2023, atau tidak pernah." kata Kovacevic.
 
Bukan hanya itu, pasar rokok elektrik di AS sudah lebih dulu berkembang, sehingga ahli melihat kecil kemungkinan bagi Wang bisa menjadikannya pengganti pasar domestik China.
 
Di sisi lain, perubahan di pasar China diproyeksikan tidak begitu signifikan sekalipun regulasi baru perdagangan rokok elektrik segera diberlakukan.
 

Kisahnya Membangun Bisnis

Rokok Elektrik
Ilustrasi Rokok Elektrik atau Vape (iStockphoto)
Wang tampak seperti wanita karir China pada umumnya di tahun-tahun sebelum membangun RLX. Setelah lulus dari Xi'an Jiaotong Univeristy untuk jurusan keuangan pada tahun 2005, ia kemudian bekerja untuk perusahaan kebutuhan konsumen Procter & Gamble (P&G) selama tiga tahun.
 
Ia sempat bekerja di sebuah perusahaan investasi kecil di Hong Kong, sebelum akhirnya Wang terbang ke New York untuk melanjutkan studi masternya di Columbia Univeristy. Di sana ia mengambil program magister administrasi bisnis (MBA).
 
Setelahnya, Wang sempat bekerja untuk perusahaan konsultan Bain & Co. Pekerjaan terakhirnya sebelum membangun RLX, Wang sempat bekerja empat tahun di Uber China sebelum akhirnya perusahaan merger dengan Didi Chuxing, startup ride-hailing terbesar di China.
 
Saat bekerja di Didi Chuxing inilah Wang bertemu dengan beberapa rekannya, yang kemudian akan membantunya mendirikan RLX. Ide pertama bisnis ini muncul pada tahun 2017, namun resmi rilis di awal tahun 2018.
 
Ia memulai penjualan melalui layanan belanja online JD.com yang merupakan salah satu e-commerce terbesar di China. Mereka menargetkan konsumen dewasa hingga tua dengan memberikan varian rasa yang sederhana dan bentuk fisik ramping.
 
Belum genap setahun pasca rilis, Juni 2018 RLX berhasil mendapat investasi awal dari IDG Capital dan Beijing VC sebesar USD 6 juta. 
 
Dari sini, RLX terus berkembang hingga awal 2019 atau setahun pasca rilis, perusahaan melaporkan berhasil menguasai setengah pasar rokok elektrik China. Ini yang kemudian membuat perusahaan investasi besar Sequoia China dan miliarder Yuri Milner tertarik menyuntikkan dananya USD 75 juta kepada perusahaan Wang.
 
Tahun 2019 menandai titik balik kesuksesan Wang usai merintis bisnis kecilnya. Pasca dihujani banyak investasi, pada bulan September tahun itu, perusahaan membuka pabrik seluas hampir 2 Hektar di selatan kota Shenzhen, di mana lebih dari 4.000 pekerja bekerja keras untuk membuat rokok elektrik RLX.
 
 
Reporter: Abdul Azis Said
 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya