Kredibilitas Sertifikasi Hutan Lestari Harus Kuat

Industri kehutanan membutuhkan sertifikasi hutan lestari yang memiliki kredibilitas kuat.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Jul 2021, 15:49 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2021, 13:50 WIB
Hutan Tanaman Industri
Pepohonan Ekaliptus yang berjajar rapi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Kutai Kartanegara. (foto: Abdul Jalil)

Liputan6.com, Jakarta - Industri kehutanan membutuhkan sertifikasi hutan lestari yang memiliki kredibilitas kuat. Pasalnya, sertifikasi merupakan instrumen untuk membuka akses ke pasar internasional. Untuk itu, organisasi sertifikasi hutan lestari diharapkan tidak mudah ditekan beragam isu lingkungan.

Pengamat Kehutanan Petrus Gunarso menjelaskan bahwa lembaga sertifikasi kayu seperti FSC ataupun PEFC memang dibentuk untuk memenuhi tuntutan pembeli di luar negeri. Masing-masing membuat standar dan skema sertifikasi yang berbeda-beda. Di dalam negeri juga ada sertifikasi serupa seperti Lembaga Ekolabel Indonesia dan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu).

Di pasar internasional, kata Petrus Gunarso, perusahaaan kayu dari negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memenuhi standar negara pembeli seperti Eropa. Itu sebabnya, berdirilah lembaga seperti FSC yang menerbitkan logo dagang produk kayu.

“Masalahnya adalah pelaku bisnis di negara berkembang. Malahan dibuat ruwet karena harus memenuhi kriteria sustainability yang berbeda di antara lembaga sertifikasi kayu. Jadi, belum ada kriteria yang dibuat untuk standar internasional misalkan melalui ISO,” jelas Petrus.

Petrus mengingatkan bahwa sertifikasi ini bagian dari strategi dagang. Perusahaan kayu diminta punya sertifikasi oleh pembeli di luar negeri. Kendati sifatnya voluntir.

Tapi kalau tidak punya sertifikatnya berakibat kesulitan masuk pasar ekspor. Tak heran, beberapa lembaga sertifikasi hutan melibatkan jejaring LSM baik internasional dan lokal supaya perusahaan mempunyai sertifikat hutan lestari.

Petrus Gunarso menilai kredibilitas lembaga sertifikasi sebagai contoh FSC dipertaruhkan apabila menerima mentah-mentah hasil investigasi LSM.

“Saat menerima laporan, seharusnya FSC verifikasi lapangan juga. Jangan langsung menerima dan sepakat dengan laporan LSM. Karena perusahaan kayu yang menjadi anggotanya telah bayar mahal (sertifikasi). Selain ke lapangan, lembaga seperti FSC juga harus verifikasi ke pemerintah. Kalau itu tidak dilakukan akan berpengaruh kepada kredibilitasnya,” pungkas Petrus.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kampanye Negatif

Hutan karet
Jokowi : Harga karet sudah mulai membaik, karet bisa untuk aneka bahan industri dan aspal. (foto: dok. Kementan).

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo, mengingatkan bahwa produk alam negara berkembang seperti dari Indonesia terus dihambat oleh berbagai kebijakan dagang dan kampanye negatif LSM. Disinilah, Indonesia harus berani tegas terhadap kampanye LSM yang mengganggu kepentingan ekonomi nasional.

“Harus dipahami, banyak LSM mengintervensi pembangunan dan sumber daya alam negara berkembang. Kedaulatan bangsa ini tidak boleh diganggu oleh kepentingan di dalam dan luar negeri,” ujar politisi Golkar ini.

Selanjutnya, ia menyarankan pemerintah Indonesia berani bertindak tegas terhadap kampanye yang mengganggu kepentingan nasional.

“Indonesia harus dapat mencontoh pemerintah India dan Brazil yang bertindak tegas kepada LSM asing di negaranya. LSM yang beroperasi di Indonesia tetapi mengganggu kepentingan nasional. Seharusnya dilarang dan tidak boleh melakukan kegiatan di Indonesia,” tegas Firman.

Ia juga mendesak adanya akuntabilitas dan transparansi dari NGO yang beroperasi di Indonesia. “Mereka para LSM harus bisa mempertanggungjawaban sikap, tindakan, keputusan lembaga mereka kepada publik termasuk dalam soal pendanaan. Karena biasanya mereka menerima dana atau donasi dari luar dengan agenda tertentu,” ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya