Liputan6.com, Jakarta - Vaksin merah putih garapan Pt Biotis Pharmaceutical Indonesia dan Universitas Airlangga dikatakan akan mulai diproduksi tahun depan. Direktur Utama PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia, FX Sudirman, mengatakan harganya tak lebih dari USD 5.
Ia berharap bahwa vaksin yang diproduksi dalam negeri ini mampu hadir dengan harga yang terjangkau.
"Mudah-mudahan kami bisa atau mengembangkan vaksin dan memproduksi vaksin dengan harga yang affordable, mudah-mudahan bisa kurang dari USD 5," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (15/9/2021).
Advertisement
Dengan harga segitu, ia berharap mampu menjangkau masyarakat luas dengan harga yang bisa ditanggung pemerintah. Bahkan, ia mengatakan harga tersebut akan lebih murah dari belanja vaksin pemerintah dari luar negeri.
Dengan asumsi kurs Rupiah terhadap Dolar AS sebesar Rp 14.200, berarti harga satu dosis vaksin akan berkisar Rp 71.000. Diketahui, pemerintah menganggarkan Rp 54,46 triliun untuk belanja vaksin tahun ini.
Sudirman mengatakan untuk mendapatkan harga yang murah perlu ada dukungan dari pemerintah dan pihak-pihak terkait. Apalagi terkait biaya soal alat atau bahan baku yang dibutuhkan yang masih harus diperoleh dari luar negeri.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Belajar dari Farmasi Global
Lebih lanjut, Sudirman mengatakan bahwa ada dua poin besar yang bisa dipelajari dari pola produksi perusahaan farmasi besar dalam memproduksi vaksin secara massal. Ia mengambil contoh dari perusahaan pembuat vaksin Sinovac, Sinopharm, AstraZeneca, hingga Moderna.
“Kami perlu melihat dan belajar dari apa yang sudah dilakukan oleh industri farmasi global di luar, bagaimana mereka memenuhi vaksin covid dunia dan jumlah yang sangat besar,” katanya.
Poin pertama yang bisa jadi pelajaran, adalah perusahaan farmasi global tersebut memanfaatkan fasilitas yang ada di negaranya. Hal ini tentunya, kata Sudirman, mampu memotong waktu dalam pelaksanaan riset hingga produksi.
“Mereka kalau membuat fasilitas baru akan lama, logikanya bisa molor sampai 2-3 tahun. Itu fasilitasnya baru ada, dan baru mulai,” katanya.
Kemudian, poin kedua adalah terkait supply chain logistik. Hal ini diakui Sudirman sebagai kelemahan di Indonesia. Jika perusahaan global tersebut mampu dengan mudah mengakses supply chain logistik terkait alat-alat yang dibutuhkan, sedangkan Indonesia masih perlu mendatangkan dari luar negeri.
“Karena bahan baku produksi vaksin ini kita perlu impor. Meski seed atau isolatnya itu berasal dari Indonesia, tapi agen media, peralatan sebagian besar kita impor dari luar,” katanya.
Dengan kemudahan akses logistik tersebut, maka industri farmasi global itu bisa secara cepat memenuhi kebutuhan vaksin di wilayahnya.
Ia mengatakan, dalam keadaan normal, pembuatan vaksin sendiri membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 5 tahun, bahkan ada yagn sampai 10 tahun. Ia menyoroti terkait kolaborasi antara pemangku kepentingan.
“Bagaimana kita belajar dari AS dan China mereka dukung industri biofarmasi untuk percepat itu (riset dan izin produksi), AS itu mendukung dari proses pengembangan praklinik sampai klinik dan kepastian pembelian, sehingga produsen vaksin memiliki kepastian, ketika sudah jadi bisa dibeli pemerintah,” tuturnya.
Advertisement