Liputan6.com, Jakarta Lippo menjadi salah satu perusahaan yang merintis jalan investasi digital. Tepatnya pada 2015, atas inisiasi Direktur Eksekutif John Riady, Lippo mendirikan Venturra Capital.
Ini merupakan bagian dari PT Multipolar Tbk., sebagai kepanjangan tangan Lippo dengan modal awal senilai USD 150 juta.
Baca Juga
“Investasi di awal-awal itu kecil-kecil, namun kini portofolio kami yang sudah mencapai hampir 40 perusahaan, memiliki valuasi yang berlipat-lipat,” kata John, Rabu (6/10/2021).
Advertisement
Kini, berinvestasi pada perusahaan digital ataupun perusahaan rintisan merupakan hal lumrah seiring tren teknologi yang berlangsung saat ini.
Namun untuk membidik perusahaan teknologi digital bukanlah perkara mudah, karena mayoritas membidik kemungkinan keuntungan di masa depan. Lippo pun menyadari hal ini.
Melalui kendaraan Venturra Capital, Lippo melakukan investasi mulai dari seed funding, hingga masuk dalam permodalan perusahaan rintisan teknologi yang telah mapan dan sebelum penawaran saham perdana (pra IPO).
Investasi yang dilakukan Venturra Capital tidak saja terhadap perusahaan di dalam negeri, namun juga melebarkan sayak hingga mancanegara.
Salah satu perusahaan rintisan teknologi yang ikut disokong Lippo adalah Prenetics yang berbasis di Hong Kong.
Perusahaan yang berdiri sejak 2007 tersebut bergerak di bidang laboratorium kesehatan dan beroperasi di 10 negara itu kini memiliki nilai perusahaan sebesar USD 1,25 miliar, dan tengah bersiap menjadi perusahaan publik.
Prenetics kini bersiap melakukan merger dengan Artisan Acquisition Corp yang terdaftar di AS dan langkah IPO.
Perusahaan gabungan dengan nilai valuasi mencapai USD 1,7 miliar itu diharapkan untuk berdagang di Nasdaq di bawah simbol PRE.
Pada lain sisi, aksi korporasi itupun mengungkapkan cara pandang investasi digital ala Lippo yang dikelola John Riady.
Sejak berdiri enam tahun lalu, investasi Venturra Capital telah melahirkan perusahaan teknologi yang sukses seperti Ruang Guru, Ovo, Sociola, Zilingo, ruangguru.com, Luno, Shopback, Kaodim, Sociolla, Bride Story, Fabelio hingga TADA, bahkan unicorn Grab.
Menurut John, prinsip dasar melakukan investasi kepada perusahaan rintisan teknologi menitik beratkan kepada kualitas para pendirinya.
“Mereka yang sukses kerapkali tidak memikirkan untung dan uang lebih dulu, namun gigih untuk merancang solusi teknologi untuk berbagai permasalahan di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Tidak Sekali Jadi
Para pendiri perusahaan rintisan itu, kata John, tidak datang dengan model bisnis sekali jadi. Melainkan selalu berupaya menyajikan model bisnis yang fleksibel agar dapat memberikan layanan tepat guna.
“Jadi mereka itu punya mimpi mengubah hidup lebih baik, bahkan mungkin mengubah dunia, urusan untung dan uang justru belakangan,” katanya.
Dikatakan Venturra Capital selalu berupaya terlibat lebih dalam untuk membantu dan mendampingi perusahaan rintisan teknologi.
“Dan itupun berbuah dengan perkembangan terkini berbagai perusahaan rintisan yang menjadi portofolio, mereka memegang peranan penting di tengah pandemi saat ini,” tegas John.
Dia mengungkapkan sejauh ini Venturra Capital yang jadi kendaraan investasi mengandalkan empat strategi utama. Pertama, diistilahkan sebagai early stage, yakni menjadi investor sekaligus pendamping perusahaan rintisan teknologi sejak dini, seperti yang dilakukan terhadap Grab.
Artinya, kata John, Venturra Capital ikut merancang strategi pengembangan perusahaan rintisan tersebut. “Dulu kami masuk memberikan USD 50.000, sekarang valuasinya berlipat-lipat,” kata John.
Strategi kedua yaitu late stage, di mana investasi dilakukan terhadap perusahaan yang telah mapan serta pra IPO.
Hal ini pula yang dilakukan Lippo dengan menyuntikan dana ke Noice, sebuah platform audio digital yang memiliki konten podcast hingga radio.
“Dengan mencapai fase ini, bermakna bahwa perusahaan rintisan teknologi ini telah mampu bersaing dan bertahan dari habitatnya yang mungkin terdapat ratusan perusahaan sejenis,” kata John. Sedangkan strategi ketiga menitikberatkan kepada kerja sama atau kemitraan strategis dengan investor luar.
“Hal inilah yang kami kembangkan dengan keberadaan Ovo, yang pada awalnya memang kami bangun untuk pembayaran digital, saat itu Grab mau ikut bekerja sama,” kata John.
Strategi terakhir yang senantiasa dilakukan Lippo yakni mengawinkan kepentingan portofolio digital ataupun kemitraan digital dengan lini bisnis konvensional yang telah dimiliki.
“Strategi ini memperkuat ekosistem digital, biar bagaimanapun tetap butuh jaringan bisnis secara fisik,” tutup John.
Saat ini Lippo cukup banyak berinvestasi di perusahaan digital, yang masih hangat adalah Gojek dan Tokopedia (GoTo).
Advertisement