Pengamat: Kalau Lihat Cerita Peter Gontha, Wajar Keuangan Garuda Indonesia Negatif

Polemik tentang kondisi Garuda Indonesia belakangan menjadi sorotan banyak pihak.

oleh Arief Rahman H diperbarui 02 Nov 2021, 17:30 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2021, 17:30 WIB
Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG
Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG (dok: GIA)

Liputan6.com, Jakarta - Polemik tentang kondisi Garuda Indonesia belakangan menjadi sorotan banyak pihak. Bahkan banyak memunculkan pandangan Garuda Indonesia perlu digantikan dengan maskapai lain.

Ditengah upaya yang masih terus berjalan untuk menyelamatkan Garuda Indonesia, Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menilai, jika mengacu pada pernyataan Peter Gontha soal harga sewa pesawat yang lebih mahal, wajar jika BUMN ini membukukan catatan keuangan negatif.

“Jika berpatokan pada cerita mantan komisaris Garuda, Peter Gontha, tentang biaya sewa pesawat yang jauh di atas standar dunia, maka wajar BUMN penerbangan yang satu ini membukukan catatan keuangan negatif.  Pemasukan perusahaan menguap entah ke tangan siapa,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (2/11/2021).

Ia menilai bahwa kasus yang menimpa Garuda Indonesia ini terbilang aneh. Pasalnya maskapai ini menguasai captive market premium dengan sokongan perjalanan dinas para pejabat. Namun, hasilnya justri catat keuangannya justru merah dan selalu merah.

Ia juga menilai, jika mengikuti saran Menteri BUMN Erick Thohir untuk Garuda Indonesia fokus ke pasar penerbangan domestik tak masuk akan secara bisnis. Pasalnya, biaya-biaya operasional Garuda Indonesia mayoritas dalam mata uang dolar, termasuk pada utang sukuk yang tercatat USD 500 juta.

“Berbinis dalam rupiah dengan beban utang dalam dolar,  lama lambat akan menjebak Garuda ke dalam lubang krisis seperti tahun 1997-1998. Jika Rupiah melemah lebih lanjut,  tanpa menambah utang,  beban utang Garuda akan naik,  karena bisnis utamanya justru di dalam rupiah. Jadi diperlukan solusi tegas dan strategis,” kata dia.

Dengan demikian, ia menuturkan salah satu opsi dari cara untuk mengatasinya adalah dengan mempailitkan Garuda Indonesia. Namun, kata Ronny, berpihak pada penerbangan nasional tidak mutlak mem-bailout Garuda Indonesia.

“Terlalu distortif dan naif jika dimaknai demikian, keenakan Garuda-nya,” katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tingkatkan Keberpihakan

Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG
Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG (dok: GIA)

Sementara itu, ia menilai bahwa pemerintah bisa meningkatkan keberpihakan kepada pelaku industri penerbangan domestik setelah Garuda Indonesia dipailitkan.

Caranya dengan mendorong beberapa pelaku BUMN penerbangan yang lain yang lebih sehat untuk menggantikan Garuda Indonesia. Kemudian, memperbaiki ekosistem industri penerbangan nasional dengan memberi proteksi dan peluang yang besar pada pelaku domestik.

Tujuannya, agar tak dikuasai oleh pelaku bisnis penerbangan dari luar negeri.

“Dalam konteks ini, pemerintah harus memaknai situasi Garuda ini dengan kacamata yang lebih besar, yakni memperbaiki ekosistem industri penerbangan nasional, meskipun harus kehilangan Garuda,” kata dia.

Selain opsi tersebut, Ronny juga menawarkan pemerintah bisa membuat ‘rumah sakit’ untuk memperbaiki kondisi Garuda Indonesia. Dalam melakukan langkah ini, kata dia, bisa mencontoh Amerika Serikat. Namun ini tidak sebatas pada Garuda Indonesia, tapi juga bisa diterapkan bagi BUMN lainnya yang dipandang ‘sakit’.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya