Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan atau UU HPP. Isi UU ini antara lain mengatur pajak yang dikenakan ke masyarakat seperti pajak penghasilan dan PPN, tax amnesty jilid II hingga pajak karbon.
Mengutip beleid tersebut, Kamis (4/11/2021), dikatakan jika UU Harmonisasi Perpajakan ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian.
Kemudian mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menujumasyarakat Indonesia yang adil, makmur, dansejahtera.
Advertisement
Selain itu, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Serta, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor lantas sebelumnya menjabarkan, UU HPP memiliki 6 kelompok pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai.
Dalam UU HPP juga mengatur penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Berikut rincian kelompok pengaturan dalam UU HPP
1. Kelompok Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Pemberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).
- Pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), selama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
- Sinkronisasi dengan Undang Undang Cipta Kerja dalam penerapan sanksi administrasi perpajakan.- Pengaturan asistensi penagihan pajak global.
- Kesetaraan pengenaan sanksi melalui penurunan sanksi terkait permohonan keberatan atau banding wajib pajak.
- Pengaturan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) agar dapat berjalan secara simultan dengan proses keberatan atau banding.
- Kuasa Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali Kuasa Wajib Pajak yang merupakan suami, istri, keluarga sedarah, atau semenda sampai dengan derajat kedua.
- Sinergi antar instansi pemerintah untuk melakukan pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan kerja sama.
Â
Â
Advertisement
2. Kelompok Pajak Penghasilan
- Pemberian dalam bentuk natura yang dapat dibiayakan.
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00.
- Pengaturan kembali penyusutan dan amortisasi.
- Pemberlakuan tarif PPh Badan menjadi 22 persen mulai Tahun Pajak 2022.
- Penyempurnaan upaya mencegah penghindaran pajak dengan menerapkan metode yang sesuai dengan international best practice.
- Penambahan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian multilateral.
- Perubahan lapisan dan tarif penghasilan kena pajak;
a. Perubahan pertama terjadi pada kategori wajib pajak orang pribadi tingkat terkecil, yang batas penghasilan per tahunnya dinaikan dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta.
b. Terdapat satu penambahan kategori wajib pajak orang pribadi, yakni berpenghasilan di atas Rp 5 miliar dan akan terkena pungutan pajak sebesar 35 persen.
Â
3. Kelompok Pajak Pertambahan Nilai
- Penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (negative list) dan memindahkannya menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen yang mulai berlaku 1 April 2022, kemudian menjadi 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
- Kemudahan dan kesederhanaan PPN dengan tarif final untuk barang atau jasa kena pajak tertentu.
Â
4. Program Pengungkapan Sukarela Pajak (Tax Amnesty) Jilid II
- Kebijakan I Peserta program pengampunan pajak di 2016 untuk orang pribadi dan badan dapat mengungkapkan harta bersih yang belum dilaporkan pada saat program pengampunan pajak, dengan membayar PPh final sebesar;
a. 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
b. 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri
c. 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.
- Kebijakan II Wajib pajak orang pribadi peserta program pengampunan pajak maupun non-peserta dapat mengungkapkan harta bersih yang berasal dari penghasilan di 2016-2020, namun belum dilaporkan pada SPT 2020, membayar PPh final sebagai berikut;
a. 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
b. 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri
c. 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.
Â
5. Kebijakan dalam Pengenaan Pajak Karbon
Tarif pajak karbon ditetapkan Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan implementasi 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Advertisement