65 Persen Listrik di Indonesia Ditopang Batu Bara

Sebanyak 90 persen nyala listrik di Indonesia ditopang oleh energi fosil dan 65 persen diantaranya ditopang oleh batu bara

oleh Arief Rahman H diperbarui 24 Nov 2021, 16:30 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2021, 16:30 WIB
Dukung Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, Pemerintah Luncurkan Aplikasi Charge.IN
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif pada launching aplikasi Charge.IN secara virtual, Jumat (29/01/2021).

Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 90 persen nyala listrik di Indonesia ditopang oleh energi fosil dan 65 persen diantaranya ditopang oleh batu bara. Banyaknya ketergantungan terhadap energi fosil ini dipandang jadi alasan wajibnya transisi energi ke energi baru terbarukan untuk dilakukan.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Rida Mulyana mengatakan, faktanya nyala listrik di Indonesia ditopang oleh mayoritas energi fosil yang suatu saat akan habis.

“Nyala lampu hari ini, dingin AC di ruangan ini dari listrik yang 65 persennya dari batu bara, patut disayangkan? Enggak juga, tapi itu faktanya. Bahwa kita menikmati listrik suka tidak suka tapi kita hari ini listrik ditopang oleh batu bara,” kata dia dalam Grand Launching Badan Logistik dan Rantai Pasok Kadin Indonesia, Rabu (24/11/2021).

Ia pun menyebut, dari 90 persen nyala listrik di Indonesia ditopang oleh energi fosil ini yang suatu saat akan habis. Hal ini juga yang disoroti oleh dunia internasional sebagai penyumbang kontribusi besar terhadap perubahan iklim.

“Kita tahu energi fosil tak sustain dan artinya tak ada terus, besok lusa akan habis, lebih dari itu ada stigma internasional bahwa mereka-mereka (energi fosil) ini yang berkontribusi terhadap perubahan iklim,” katanya.

Dengan landasan itu, Rida menyebut transisi ke energi bersih merupakan suatu keharusan kedepannya. Ia mengakui saat ini Indonesia telah memulainya dengan membuat roadmap, namun poinnya apakah bisa dipercepat atau tidak.

“Jadi transisi energi ini sudah jadi keniscayaan, ini bisa dipercepat atau tidak, in sudah kita menyusunnya sudah dituangkan dalam roadmap. Ini berupaya untuk mencapai karbon netral atau Net zero emission,” tuturnya.

Kendati begitu, terkait percepatan transisi energi, ia menyebut hal ini masih tergantung terhadap perkembangan teknologi kedepannya.

“Dan lebih lagi duitnya ada enggak, semua ujungnya duitnya. Ini di Glasgow yang jadi topik kita, baik dalam pertemuan panelis maupun bilateral, kita sih nunggu aja,” katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Belum Dapat Bagian

Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Pemalang-Mandirancan berkapasitas 500 kilo Volt (kV),
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Pemalang-Mandirancan berkapasitas 500 kilo Volt (kV). (Dok. PLN)

Lebih lanjut, Rida menuturkan bahwa terkait janji atau komitmen internasional, sebetulnya sudah jadi bahasan beberapa tahun lalu. Namun, hingga saat ini biaya untuk menopang transisi energi tersebut, Indonesia diakui belum mendapatkan bagian.

“Kalau janji-janji aja, dari tahun 2015 juga udah dijanjiin, tiap tahun USD 100 miliar, sampai saat ini gimana? Buat kita gak ada, belum,” katanya.

Terkait janji-janji komitmen ini, ia menyebut hal ini terulang di pertemuan di Glasgow, Skotlandia beberapa waktu lalu. Meskipun hal ini rencananya akan jadi bahasan pada gelaran G20 mendatang.

“Kalau yang dibicarakannya itu saja (janji-janji), ya pusing kita kalau gak ada solusi,” kata dia.

“Jadi transisi energi adalah suatu keniscayaan, tapi satu sisi juga kita harus siap konsekuensinya. Kita memang sangat terbatas, tapi paling tidak kita sudah siapkan roadmap-nya, dan kita sodorkan ke dunia internasional, kalau you mau bantu ya silakan, kalau tidak juga ya kita gak minta-minta,” imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya