Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak bisa melonjak hingga USD 120 atau setara Rp 1,7 juta per barel jika ekspor minyak mentah Rusia terganggu oleh ketegangan dengan Ukraina. Hal itu diungkapkan berdasarkan proyeksi dari JPMorgan.
Perkiraan tersebut menggarisbawahi bagaimana potensi invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan efek luas yang akan dirasakan oleh konsumen yang telah dilanda inflasi di seluruh dunia.
Baca Juga
"Setiap gangguan pada aliran minyak dari Rusia dalam konteks kapasitas cadangan yang rendah di wilayah lain dapat dengan mudah memicu harga minyak naik ke USD 120," kata kepala strategi komoditas global JPMorgan, Natasha Kaneva dalam sebuah laporan, dikutip dari CNN, Kamis (10/2/2022).
Advertisement
JPMorgan memperingatkan bahwa jika ekspor minyak Rusia dipotong setengahnya, harga minyak Brent kemungkinan akan melesat ke USD 150 atau Rp 2,1 juta per barel.
Harga minyak tertinggi sepanjang masa ditetapkan pada Juli 2008, ketika harga Brent melonjak ke rekor USD 147,50 per barel.
Diketahui, ketegangan Rusia-Ukraina telah memicu kenaikan harga minyak dalam beberapa pekan terakhir.
Minyak mentah Brent mencatat harga tinggi baru dalam tujuh tahun sebesar USD 94 per barel pada Senin (7/2), meskipun sejak itu telah menurun ke sekitar USD 91.
Risiko Krisis Rusia-Ukraina bagi Pasar minyak
Rusia merupakan produsen minyak dan gas alam terbesar nomor dua di dunia, kedua setelah Amerika Serikat untuk setiap kategori.
Negara tersebut memainkan peran kunci di OPEC+ - kelompok produsen yang hanya secara bertahap menambah kembali produksi yang absen selama awal pandemi Covid-19.
Krisis Rusia-Ukraina menimbulkan beberapa risiko bagi pasar minyak. Pertama, konflik tersebut berpotensi merusak infrastruktur energi di kawasan sekitar.
Kedua, negara-negara Barat dapat merespon dengan menjatuhkan sanksi yang melumpuhkan ekspor energi Rusia, meskipun para pejabat AS telah mengisyaratkan preferensi untuk menjatuhkan sanksi ke sektor-sektor lain dari ekonominya terlebih dahulu.
Harga gas alam yang lebih tinggi di Eropa juga akan mendorong permintaan minyak karena pabrik dan pembangkit listrik telah beralih ke minyak.
Advertisement