Turki akan Jadi Rumah Baru Para Oligarki dan Miliarder Rusia

Turki terlihat berusaha untuk mengambil garis tipis dalam perang yang sedang berlangsung antara Rusia Ukraina.

oleh Tira Santia diperbarui 30 Mar 2022, 21:00 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2022, 21:00 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membuka pembicaraan Ukraina-Rusia di Istanbul pada Selasa 29 Maret 2022. (Murat Cetin Muhurdar - AFP)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membuka pembicaraan Ukraina-Rusia di Istanbul pada Selasa 29 Maret 2022. (Murat Cetin Muhurdar - AFP)

Liputan6.com, Jakarta Kekayaan oligarki dan miliarder Rusia sedang mencari rumah baru. Bak gayung bersambut, Turki  dengan cepat membuka pintu bagi para orang kaya ini.

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan jika negaranya akan menyambut oligarki Rusia yang terkena sanksi ke negara itu sebagai turis dan investor. Ini selama urusan bisnis mereka mematuhi hukum internasional.

Melansir laman CNBC, Rabu (30/3/2022), itu terjadi sehari setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa "kelompok modal tertentu" dapat "memarkir fasilitas mereka bersama kami."

Pernyataan Erdogan seakan menjadi referensi langsung menyambut kedatangan beberapa aset mewah milik Rusia di Turki baru-baru ini, termasuk dua aset mewah yakni yacht dan jet pribadi milik miliarder Roman Abramovich.

Komentar tersebut telah memicu spekulasi bahwa Turki—negara non-Uni Eropa tetapi anggota NATO—mungkin secara aktif mendorong investasi dari miliarder yang masuk daftar hitam karena berusaha menopang ekonominya yang diperangi. Di sisi lain, orang kaya Rusia secara aktif mencari investasi di sana.

Tetapi setiap keuntungan prospektif dapat menjadi pandangan pendek bagi sebuah negara yang mengatur tindakan penyeimbangan yang rumit antara Rusia dan Barat.

“Menarik uang Rusia dapat merugikan Turki dalam jangka panjang,” jelas Direktur Senior di Dewan Atlantik di Turki dan mantan ekonom untuk Kedutaan Besar AS di Ankara, Defne Arslan kepada CNBC.

Turki terlihat berusaha untuk mengambil garis tipis dalam perang yang sedang berlangsung di Ukraina.

Meskipun sempat mengkritik invasi Moskow yang tidak beralasan, Turki telah berhenti menerapkan sanksi seperti yang dijatuhkan oleh AS, UE, Inggris, dan lainnya, dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya menentang perang.

Sebaliknya, negara ini telah mengadopsi peran mediator netral, memfasilitasi pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina.

Negosiasi di Istanbul pada hari Selasa tampaknya meningkatkan harapan akan terobosan setelah Moskow setuju untuk menghentikan serangan militernya di Kyiv dan Chernihiv.

Sementara negosiator Ukraina mengusulkan untuk mengadopsi status netral dengan imbalan jaminan keamanan.

 

Bersikap Netral

Hagia Sophia
Kendaraan polisi berpatroli di depan Hagia Sophia di Istanbul Turki. (Ozan KOSE/AFP)

Sikap netralitas nominal Turki sebagian besar dipahami mengingat hubungan ekonomi dan diplomatiknya yang erat dengan Rusia, khususnya mengenai energi, pertahanan, perdagangan, dan pariwisata.

Dengan demikian, sekutu Barat tidak menekan Turki untuk ikut memberikan sanksi, mereka juga tidak akan menghukumnya karena tidak melakukannya.

Itu menjadikannya pos terdepan yang sah untuk aset milik Rusia yang terkena sanksi. Memang, masuknya investasi asing dan aset mewah dapat memberikan keuntungan bagi ekonomi Turki yang terkepung, yang tergelincir ke mode krisis pada September.

Krisis imbas penurunan suku bunga yang tidak lazim mendorong inflasi yang sudah melonjak lebih tinggi.

"Namun, toleransi Barat kemungkinan akan berkurang jika Turki mulai secara aktif meminta kekayaan yang dikenai sanksi," menurut Emre Peker, Direktur dan Ahli konsultan risiko politik Eurasia Group di Turki.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya