Pelita Air Diminta Waspada Monopoli Lion Group

Jumlah penumpang penerbangan domestik diprediksi meningkat pasca pandemi. Ini dipandang bisa jadi peluang untuk Pelita Air Service masuk ke ranah penerbangan komersial berjadwal.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 16 Apr 2022, 23:31 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2022, 20:00 WIB
PT Pelita Air Service (PAS) masuk ke segmen penerbangan komersial berjadwal (regular flight) dengan mendatang dua pesawat Airbus A320. (Dok Pertamina)
PT Pelita Air Service (PAS) masuk ke segmen penerbangan komersial berjadwal (regular flight) dengan mendatang dua pesawat Airbus A320. (Dok Pertamina)

Liputan6.com, Jakarta Jumlah penumpang penerbangan domestik diprediksi meningkat pasca pandemi. Ini dipandang bisa jadi peluang untuk Pelita Air Service masuk ke ranah penerbangan komersial berjadwal.

Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo menyampaikan jumlah penumpang pada penerbangan domestik Indonesia menurun drastis saat pandemi. Ini berpengaruh pada jumlah permintaan (demand) masyarakat dan jumlah ketersediaan penerbangan dari maskapai pasca pandemi.

"Kehadiran maskapai baru seperti Pelita Air dengan sejumlah armada barunya tentu sangat menggembirakan karena diharapkan dapat menambah jumlah penawaran kepada masyarakat," kata Gatot dalam keterangannya, Sabtu (16/4/2022).

Menurut data yang disampaikannya, jumlah lalu lintas penumpang pesawat domestik atau dalam negeri pada 2018 adalah 102 juta dan 2019 sebanyak 79,5 juta. Saat pandemi Covid-19 tahun 2020, jumlah lalu lintas penumpang domestik turun hingga tinggal 35,4 juta.

"Di saat pandemi sudah berakhir dan masyarakat sudah diperbolehkan bebas terbang, diperkirakan jumlah penumpangnya akan kembali lagi bahkan bisa saja lebih besar dari sebelum pandemi. Namun dengan satu syarat yaitu jumlah pesawat untuk mengangkutnya juga tersedia," katanua.

Seperti diketahui, selama pandemi, banyak maskapai yang mengandangkan dan mengembalikan pesawatnya kepada lessor. Sehingga ia menilai kekuatan maskapai penerbangan nasional Indonesia saat ini hanya berada di kisaran 30-50 persen dibanding sebelum pandemi.

"Dengan jumlah pesawat yang makin sedikit itu tentu saja jumlah penumpang yang dapat diangkut juga berkurang. Rute yang jumlah penumpangnya sedikit akan ditinggalkan dan dialihkan ke rute padat penumpang. Dan sesuai dengan hukum ekonomi, jika permintaan masyarakat lebih besar dari penawaran maskapai, maka harga akan naik," katanya.

Namun, Gatot memandang Pelita juga harus waspada saat memberanikan diri terjun ke bisnis penerbangan komersial. Ini berdasarkan perbedaan model bisnis antara pesawat charter dengan penerbangan reguler.

"Hal ini karena walaupun pangsa pasarnya sangat besar, sifat bisnisnya sangat berbeda, terutama terkait aturan dan tingkat persaingan yang sangat tinggi," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Monopoli

Terminal 3 Bandara Soetta Siap Melayani Penerbangan Internasional
Petugas saat melintas menggunakan eskalator di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Senin (24/04). Terminal 3 ini dilengkapi sejumlah fasilitas seperti 64 konter imigrasi dan 30 autogate imigrasi. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Pada kesempatan itu, Gatot membeberkan tantangan pasar penerbangan nasional yang dihadapi anak usaha Pertamina itu. Salah satunya bisa dilihat dari jumlah maskapai yang beroperasi.

Hingga 2021, jumlah maskapai berjadwal nasional tercatat 13 maskapai. Namun jika dilihat lebih dalam, kata dia, sejatinya hanya terdapat 3 group maskapai yang mempunyai pangsa pasar lebih dari 5 persen dan sisanya maskapai-maskapai yang pangsa pasarnya kurang dari itu.

Tiga group maskapai tersebut adalah Lion Group (Lion, Batik, Wings, Super Air Jet) dengan pangsa pasar sebelum pandemi sebesar 51 persen. Garuda Group (Garuda dan Citilink) 35 persen, Sriwijaya Group (Sriwijaya dan NAM) 10 persen. Ia menilai selama pandemi di 2020, Lion Group bahkan pangsa pasarnya mencapai 60 persen, Garuda Group 28 persen dan Sriwijaya Group 6 persen.

"Jika dilihat dari sini, memang seperti telah terjadi monopoli oleh satu group maskapai karena mempunyai pangsa pasar lebih dari 50 persen. Namun hal ini bukan tanpa sebab," katanya.

"Aturan-aturan bisnis dan operasional penerbangan yang dibuat pemerintah bisa dikatakan ikut berkontribusi. Contohnya dalam pengaturan jenis maskapai dan tarifnya serta aturan terkait frekuensi penerbangan di tiap rute," terangnya.

 


Diuntungkan Aspek Keselamatan

PT Pelita Air Service (PAS) masuk ke segmen penerbangan komersial berjadwal (regular flight) dengan mendatang dua pesawat Airbus A320. (Dok Pertamina)
PT Pelita Air Service (PAS) masuk ke segmen penerbangan komersial berjadwal (regular flight) dengan mendatang dua pesawat Airbus A320. (Dok Pertamina)

Pelita Air Service dikabarkan telah siap masuk bisnis penerbangan berjadwal. Ini jadi langkah awal Pelita bersaing dengan maskapai penerbangan komersil di dalam negeri.

Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo menyampaikan ada hal yang bisa jadi keuntungan bagi Pelita Air ketika masuk penerbangan komersial berjadwal. Yakni, pada aspek keselamatan yang diterapkan Peluta Air sebelumnya.

Diketahui, maskapai anak usaha Pertamina ini sebelumnya merupakan layanan penyewaan pesawat. Kemudian, digunakan juga untuk mendukung logistik Pertamina.

"Sebagai maskapai yang berangkat dari jenis usaha tidak berjadwal, PAS mempunyai satu keuntungan yang dapat dinikmati oleh penumpang jika hal tersebut dipertahankan. Keuntungan itu adalah dalam hal keselamatan penerbangan," kata Gatot dalam keterangannya, Sabtu (16/4/2022).

Ia menilai, maskapai penerbangan tidak berjadwal atau charter, sebagian besar budaya keselamatannya berada di tataran atas. Berarti Pelita Air juga memiliki standar keselamatan yang tinggi.

"Hal ini karena selain diawasi dan dikendalikan oleh otoritas penerbangan setempat, maskapai ini juga akan selalu diaudit oleh penyewanya yang biasanya adalah perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang pertambangan, oil & gas dan lain-lain," katanya.

"Auditnya menyeluruh, mulai dari aspek manajemen, sdm, hingga operasional dan perawatan pesawat. Tujuannya tentu saja untuk melindungi kepentingan perusahaan penyewanya tersebut misalnya melindungi karyawannya dari kecelakaan," imbuh dia.

Gatot memandang jika budaya keselamatan penerbangan sebagai maskapai carter ini bisa dipertahankan oleh Pelita saat menjadi maskapai berjadwal, tentu akan sangat menguntungkan bagi penumpang. Alasannya karena akan mendapatkan maskapai yang tingkat keselamatannya tinggi.

 


Prinsip Penerbangan

Pelita Air
Pelita Air mendatangkan dua pesawat Airbus A320.

Secara umum, kata dia, keselamatan penerbangan semua maskapai penerbangan haruslah sama. Karena dalam penerbangan terdapat prinsip yang tidak bisa diubah dan dibolak-balik urutannya. Yang pertama adalah keselamatan, kedua keamanan dan ketiga pelayanan.

Artinya, keselamatan adalah kewajiban atau mandatory bagi setiap maskapai penerbangan. Aturan-aturan keselamatan seluruh penerbangan di dunia semua sama dengan mengacu pada aturan dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).

"Namun sama bukan berarti selalu setara. Hal tersebut karena ada pengaruh banyak hal, salah satunya adalah budaya keselamatan yang dikembangkan di maskapai masing-masing," terangnya.

Mengutip Profesor Patrick Hudson dari Centre for Safety Science, Leiden University, ada lima tingkatan budaya keselamatan di maskapai penerbangan. Yakni berturut-turut dari tingkat bawah hingga atas adalah tingkat pathology, reactive, calculative, proactive dan generative.

Infografis 9 Maskapai Penerbangan Nasional Tak Lagi Mengudara
Infografis 9 Maskapai Penerbangan Nasional Tak Lagi Mengudara (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya