Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan ekonomi dunia kemungkinan bakal menghadapi "ujian terbesarnya sejak Perang Dunia Kedua.
Hal itu disampaikan di tengah acara Forum Ekonomi Dunia pada Senin (23/5) - pertama yang diadakan secara langsung sejak 2020 dibuka di Davos, Swiss.
Baca Juga
"Kami menghadapi potensi pertemuan bencana," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNN Business, Selasa (24/5/2022).
Advertisement
Georgieva juga memperingatkan bahwa perang Rusia-Ukraina telah "memperparah" efek pandemi Covid-19, membebani pemulihan ekonomi dan memperbesar risiko inflasi karena biaya makanan dan bahan bakar melonjak.
Masalah itu pun belum termasuk kenaikan suku bunga menambah tekanan pada sejumlah negara, perusahaan, dan rumah tangga dengan tumpukan utang yang besar.
Turbulensi pasar dan kendala rantai pasokan yang sedang berlangsung juga menimbulkan risiko, serta perubahan iklim.
Selain IMF, Kepala Badan Energi Internasional (IEA) juga mendesak negara-negara di dunia membuat pilihan investasi yang tepat dalam menanggapi kekurangan bahan bakar fosil yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina.
"Beberapa orang mungkin menggunakan invasi Rusia di Ukraina sebagai alasan untuk ... gelombang baru investasi bahan bakar fosil," kata kepala IEA Fatih Birol selama diskusi di Davos.
"Hal ini akan selamanya menutup pintu untuk mencapai target iklim kita," ujarnya.
Skala tantangan ekonomi digarisbawahi oleh laporan terbaru dari OECD pada Senin (23/5), yang menunjukkan bahwa PDB gabungan negara-negara G7 menyusut 0,1 persen pada kuartal pertama tahun ini, dibandingkan dengan periode tiga bulan sebelumnya.
"Kita tidak bisa menyelesaikan masalah jika kita hanya fokus pada satu masalah," ujar Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck.
"Jika tidak satu pun dari masalah ini diselesaikan, saya khawatir, kita akan melihat resesi global - dengan implikasi besar, tidak hanya untuk iklim, untuk perlindungan iklim, tetapi untuk stabilitas global," jelasnya.
Untuk membatasi tekanan ekonomi, IMF menyerukan pertemuan pejabat pemerintah dan pemimpin bisnis di Davos untuk membahas penurunan hambatan perdagangan.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ketika Pembatasan Ekspor Dorong Kenaikkan Harga Pangan Secara Global
Tetapi ketika sejumlah negara berjuang dengan kecemasan yang meningkat tentang krisis biaya hidup, beberapa negara justru menuju ke arah yang berlawanan, dengan menerapkan pembatasan perdagangan pada makanan dan produk pertanian yang dapat memperburuk pasokan dan menaikkan harga secara global.
Awal bulan ini, keputusan India untuk melarang ekspor gandum membuat harga gandum melonjak, meskipun negara itu adalah eksportir yang relatif kecil.
Adapun Indonesia yang juga sempat melarang sebagian besar ekspor minyak sawit pada bulan April lalu untuk melindungi pasokan domestik - kemudian dicabut pekan ini.
Dalam kunjungannya ke Tokyo, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan bahwa resesi tidak dapat dihindari dan dia mengungkapkan Gedung Putih sedang mempertimbangkan untuk memberhentikan beberapa aturan tarif era Donald Trump untuk barang-barang China, yang menurut Menteri Keuangan Janet Yellen lebih banyak merugikan daripada menguntungkan konsumen dan bisnis AS.
"(Langkah) itu tidak akan besar, tetapi akan lebih besar daripada opsi lain yang mereka miliki," kata Jason Furman, yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat ekonomi utama mantan Presiden AS Barack Obama.
Dia mengatakan kepada CNN Business bahwa AS "berada dalam kondisi ekonomi yang paling buruk di dunia."
"Saya lebih khawatir tentang risiko resesi sekitar satu tahun dan selanjutnya di masa depan," katanya. "Saya pikir The Fed harus mencoba melakukan soft landing. Saya tidak tahu apakah mereka akan berhasil," bebernya.
Advertisement
Lockdown Covid-19 Susut Ekonomi China
Sementara itu, China dapat melihat ekonominya menyusut pada kuartal ini karena dampak lockdown Covid-19 di Shanghai, Bejiing dan puluhan kota lainnya, serta dampak krisis real estat.
Bank sentral negara itu memberikan penurunan terbesar untuk suku bunga utama setelah penjualan di pasar perumahan anjlok.
Zhu Ning, seorang profesor di Shanghai Advanced Institute of Finance, mengatakan dia percaya bahwa pihak berwenang China masih memiliki banyak pilihan untuk mengatasi serangkaian tantangan yang dihadapi ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
"China masih memiliki banyak ruang jika ingin - menurunkan suku bunga, memberikan stimulus moneter kepada ekonomi," katanya.