Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin memanas dengan tarif impor balasan yang saling diterapkan kedua negara. Sayangnya, ekonomi global akan menjadi korban dari perseteruan keduanya.
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan, perang dagang antara keduanya sebetulnya telah terjadi sejak lama. Namun, skalanya masih dalam perang dingin yang memuncak usai Presiden AS menerapkan tsrif resiprokal secara drastis.
Advertisement
Baca Juga
"Cold trade war gitu lah istilahnya. Itu aja sudah membuat pertumbuhan ekonomi global terganggu sekitar 1 persen. Kalau ini dilebarkan sampai ke seluruh dunia itu bisa sampai lebih dari 3 persen, pertumbuhan ekonomi global akan terdisrupsi," kata Ronny dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
Advertisement
Dia mengatakan, ekonomi global tetap akan terdampak meski tarif resiprokal itu ditunda selama 90 hari kedepan. Pasalnya, AS dan China sama-sama sebagai negara kunci perdagangan internasional.
Alhasil, negara lain yang bergantung pada ekspor juga akan ikut menanggung dampaknya, termasuk Indonesia.
"Sehingga sekalipun ditunda ke negara-negara lain selain Cina, tetap pertumbuhan ekonomi global akan terdisrupsi, yang akan berpengaruh kepada negara-negara yang memang sangat bergantung kepada international trade, perdagangan internasional. Negara-negara terutama negara-negara yang punya orientasi ekspor atau export oriented countries, termasuk Indonesia," tuturnya.
Senada, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menyampaikan maju-mundur kebijakan tarif resiprokal Donald Trump menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Hal ini terlihat pada skema perdagangan internasional berbagai negara.
"Jadi saya kira belum ada perubahan dari yang kemarin dengan sekarang, walaupun Trump mengatakan mereka akan mengubah atau menunda penerapan tarif selama 3 bulan ke depan, tapi landscape dari perdagangan global itu akan, saya kira ini tetap akan terjadi perubahan dan ketidakpastian itu masih sangat tinggi," jelas Piter kepada Liputan6.com.
Perdagangan ke China dan AS Berubah
Piter menyampaikan dampak perang tarif itu akan berdampak pada perdagangan negara-negara lain dengan China maupun AS. Menurutnya, sudah menjadi tujuan utama Donald Trump agar negara-negara mitra mengubah neraca dagangnya.
"Demikian juga dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi supplier bagi China. Karena tingkat produksi dari China pasti akan turun, demikian juga dengan Amerika," ungkapnya.
Beberapa negara diketahui sudah mulai negosiasi untuk merubah neraca dagang dengan AS. Seperti Indonesia, negara lain juga akan meningkatkan impor dari Amerika Serikat sebagai upaya menyeimbangkan neraca dagang.
"Nah ini kan berarti surplus atau meraca perdagangan Amerika dengan banyak negara itu akan berubah. Impor dari Amerika itu akan meningkat, demikian juga dengan Indonesia," urainya.
"Indonesia bahkan Pak Prabowo mengatakan sudah tidak ada lagi batasan kuota impor dan sebagainya. Itu kan artinya kita sudah siap mengarah kepada perdagangan yang lebih defisit nantinya. Ini tentunya akan sangat menekan meraca perdagangan maupun current market," jelas Piter.
Advertisement
China Balas Trump Lagi, Tarif Impor Barang dari AS Naik Jadi 125% Mulai 12 April
Sebelumnya, China kembali membalas tarif timbal balik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan menaikkan tarif impor atas barang-barang AS menjadi 125% dari 84%. Hal ini diungkap oleh Komisi Tarif Bea Cukai Dewan Negara dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat.
“Bahkan jika AS terus mengenakan tarif yang lebih tinggi, itu tidak akan lagi masuk akal secara ekonomi dan akan menjadi lelucon dalam sejarah ekonomi dunia,” tulis Komisi Tarif Bea Cukai China, dikutip dari CNBC, Jumat (11/4/2025).
“Jika AS terus mengenakan tarif atas barang-barang China yang diekspor ke AS, China akan mengabaikannya,” katanya.
Untuk diketahui, Donald Trump menargetkan tarif tinggi terhadap barang impor dari China yang mulai berlaku Kamis, 10 April 2025. Seiring hal itu, Gedung Putih mengklarifikasi kalau tarif kumulatif kepada China sebenarnya akan mencapai 145 persen.
