Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) memastikan tidak ada penyesuaian tarif listrik bagi seluruh pelanggan industri dan bisnis. Langkah tidak mengenaikan tarif listrik naik ini dilakukan untuk menjaga aktifitas sektor industri dan bisnis agar tetap kokoh menopang perekonomian nasional.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa kebijakan ini menjadi salah satu bukti negara hadir dalam menjaga pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Arahan Presiden jelas, tidak ada perubahan bagi tarif listrik untuk industri dan bisnis dalam skala daya apapun yang terpasang. Ini bentuk kepedulian pemerintah agar ekonomi nasional yang ditopang industri dan bisnis bisa tetap berjalan dengan sangat kokoh," tutur Darmawan.
Advertisement
Lalu seperti apa kriteria pelanggan yang masuk dalam kedua sektor ini?
Vice President Komunikasi Korporat PLN, Gregorius Adi Trianto menjelaskan dua sektor ini terbagi atas beberapa golongan.
Dalam sektor bisnis saja misalnya, terbagi atas B1 hingga B3. Pelanggan B1 adalah pemilik ruko, toko, maupun bangunan yang dijadikan tempat usaha, dengan daya di bawah 6.600 Volt Ampere (VA). Pelanggan B1 masuk dalam kategori pelanggan yang menerima subsidi listrik dari pemerintah.
Sedangkan untuk B2 hingga B3 adalah sektor bisnis besar yang mencakup ranah retail dengan daya mulai 6.600 VA hingga di atas 200 kilo Volt Ampere (kVA).
Contoh pelanggan yang masuk kategori B2 dengan daya 6.600-200 KVA yaitu meliputi pabrik tekstil, bisnis pergudangan dan penyimpanan, bisnis pengolahan dan pengawetan, dan sebagainya.
Sedangkan kategori B3 dengan daya di atas 200 KVA, misalnya apartemen hotel dan pusat perbelanjaaan.
"Mal yang ada di kota-kota besar. Pemerintah menjaga tarif listrik tidak naik untuk sektor ini agar sektor retail tetap berdiri kokoh," ujar Gregorius.
Sedangkan untuk sektor Industri, terdiri dari 450 VA hingga 14 kVA yang tergabung dalam kelompok I1.
Industri ini mencakup para UMKM yang mayoritas adalah home industry. Selama pandemi kemarin, UMKM inilah yang menjadi tumpuan perekonomian nasional.
"Pemerintah dan PLN sangat menyadari pentingnya sektor ini dan menjaga agar tidak adanya kenaikan ongkos produksi karena kenaikan tarif listrik," ujar Gregorius.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Golongan Subsidi
Sementara pelanggan dengan daya di atas 14 kVA hingga 200 kVA masuk pelanggan I2, misalnya industri garam, industri plastik, hingga furnitur.
Sementara untuk golongan industri dengan daya lebih dari 200 kVA hingga 30 MVA masuk dalam kelompok I3, contohnya industri pengolahan kopi hingga industri air minum.
Pelanggan yang masuk kategori I4 dengan daya di atas 30 Mega Volt Ampere (MVA) ke atas seperti industri semen, industri smelter hingga industri mineral lainnya.
"Industri besar ini sangat berpengaruh pada serapan tenaga kerja juga realisasi serapan investasi terhadap penerimaan negara sehingga tarif listriknya diputuskan tetap," tambah Gregorius.
Berikut Daftar Golongan Industri dan Bisnis
Golongan Subsidi
B-1 daya 450 VA
B-1 daya 900 VA
B-1 daya 1.300 VA
B-1 daya 2.200 VA s.d 5.500 VA
I-1 daya 450 VAI-1 daya 900 VA
I-1 daya 1 300 VAI-1 daya 2.200 VA
I-1 daya 3.500 VA s.d 14 kVA
I-2 daya di atas 14 kVA s.d 200 kVA
Golongan Nonsubsidi
B2 6.600-200 KVA
B3 di atas 200 KVA
I3 TM di atas 200 KVA - 30.000 KVA
I4 TT 30 MVA ke atas
Advertisement
Pengamat Minta Kenaikan Tarif Listrik Sasar Sektor Bisnis dan Industri
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meminta pemerintah ikut menerapkan tarif listrik baru untuk kalangan industri dan bisnis. Terkait waktunya, ia menyarankan saat ekonomi Indonesia mulai pulih.
Hal ini menyusul keputusan pemerintah terkait kenaikan tarif listrik bagi golongan 3.500 VA ke atas dan golongan kantor pemerintahan. Namun, golongan industri dan bisnis masih dikecualikan dengan alasan pemulihan ekonomi nasional.
"Ya mudah-mudahan agar berkeadilan untuk golongan ini bisa disesuaikan," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (14/6/2022).
Terkait waktu penyesuaian ia sepakat pemerintah bisa memberi waktu untuk sektor industri dan bisnis membangkitkan ekonominya. Pasalnya, sektor ini disebut masih terdampak pandemi Covid-19.
Ia menyarankan penyesuaian bisa dilakukan saat ekonomi dalam negeri mulai tumbuh. Misalnya, dengan prediksi di awal tahun 2023 mendatang.
"Harusnya begitu, harapan saya awal tahun saat ekonomi tumbuh bisa disesuaikan," ujarnya.
Dengan demikian, harapannya beban pemerintah yang memberikan kompensasi terhadap tarif listrik akan semakin berkurang. Karena Mamit memandang biaya kompensasi untuk sektor bisnis dan industri terbilang cukup besar.
"Pastinya (berdampak pada komopensasi pemerintah), karena saat ini tarifnya untuk industri dan bisnis sangat murah, negara menanggung kompensasi yang sangat besar," terangnya.
Â
Â
Tolak Kenaikan Tarif Listrik 3.500 VA, KSPI: Berat Buat Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan sikapnya menolak kenaikan tarif listrik bagi golongan 3.500 VA keatas. Ia mengaku kalangan buruh juga ada yang mengambil daya sebesar itu.
Iqbal menyebut kenaikan tarif listrik akan membebani keuangan masyarakat. Terlepas dari masyarakat itu golongan atas atau golongan basah.
"Listrik itu jadi kebutuhan primer, kelas menengah atau tidak tetap butuh listrik. Dengan demikian setiap upah baik kelas menengah atau bukan pasti akan dialokasikan untuk biaya listrik," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (14/6/2022).
"Kami tetap menolak kenaikan walaupun argumentasinya untuk pengguna kelas atas atau apapun, dan buruh juga ada pelanggan di 3.500 VA, berat dong dia. Dengan demikian kenaikan (tarif listrik) akan berimbas kemana-mana, bukan bicara kelas," paparnya.
Argumentasinya ini berdasar pada kebijakan pemerintah melalui PP Nomor 36 Tahun 2021. Ia menyebut, dengan ketentuan itu, berarti upah masyarakat tidak bertambah dalam kurun waktu tiga tahun.
Artinya, dengan upah yang tetap, sementara masyarakat dihadapkan dengan beban kenaikan tarif listrik. Maka, ia menyimpulkan itu bisa menjadi beban tambahan bagi masyarakat.
"Daya beli buruh itu turun 30 persen, ditengah upah yang tidak naik masa listrik dinaikkan, kayak kompeni dong, apa-apa kalau kekurangan biaya, naik pajak, listrik kan substitusi dari pajak," katanya.
"Partai Buruh menolak kenaikan listrik dengan argumentasi apapun. Toh kalau pakai di atas itu pasti biayanya akan naik karena beban listriknya besar," tambahnya.
Â
Â
Â
Advertisement