Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta dapat menjamin penerapan Domestic Market Obligation (DMO) untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, menyusul kebijakan menerapkan mekanisme pasar untuk perdagangan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Wakil Direktur Utama perusahaan sawit PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS) Kurniadi Patriawan mengatakan, NSS masih fokus menyediakan minyak sawit untuk kebutuhan pasar dalam negeri.
"Selagi masih ada perkembangan di dalam negeri, kami akan mengutamakan dalam negeri. Industri makanan, minyak goreng, dan biodiesel itu market-nya masih sangat luar biasa di dalam negeri. Selama itu bisa mendukung, kami akan support dalam negeri," jelas Kurniadi dalam keterangannya, Sabtu (18/6).
Advertisement
Pada tahun 2021, Nusantara Sawit Sejahtera (NSS) memiliki lahan sekitar 26,231 hektare dan sedang dalam proses pengembangan lahan plasma fase 1 seluas 2.500 hektare hingga tahun 2024.
Rata-rata umur tanaman baru sekitar 7 tahun, sehingga masa produksi tanaman masing sangat panjang. Perusahaan, jelasnya, juga memiliki satu pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 60 ton per jam saat ini.
NSS memiliki basis pelanggan yang sangat kuat. Pelanggan NSS membayar dengan metode FOB secara cash basis. Besarnya jarak antara permintaan dan produksi, mendorong perusahaan untuk mencari tambahan modal guna meningkatkan kapasitas produksi.
Setelah IPO, NSS menargetkan untuk mengembangkan lahan inti siap tanam seluas 20.000 hektare dan lahan plasma seluas 9,500 hektare serta membangun 4 pabrik baru sehingga kapasitas produksi meningkat menjadi 270 ton per jam dari saat ini sekitar 60 ton per jam.
Dengan pengembangan kapasitas bisnis ini, produksi tahunan ditargetkan meningkat menjadi di atas 23 ton per ha per tahun.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebijakan DMO
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai, kebijakan DMO sebesar 20 persen sudah relatif ideal. Karena diperkirakan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng di dalam negeri.
"Dari sisi produsen tidak terlalu memberatkan bagi produsen untuk menyisihkan 20 persen untuk domestik. Sebanyak 80 persen sisanya bisa untuk ekspor," jelas Nailul Huda, di Jakarta.
Dia mengatakan, produsen minyak sawit sangat menyambut baik kebijakan pemerintah menerapkan mekanisme pasar untuk harga CPO karena memang harga minyak sawit dan turunannya sedang naik di pasar internasional.
"Artinya produsen sawit bisa meraup keuntungan yang besar jika bisa ekspor kembali. Turunannya bisa meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani," tambah Nailul Huda.
Di sisi lain, dia mengatakan, memang masih ada tantangan yang harus dihadapi perusahaan sawit karena selama ini ekspor masih dibatasi, sehingga pembeli di luar negeri sudah ada yang beralih ke Malaysia.
Namun, Nailul meyakini Indonesia akan dapat kembali mengisi pasar dan bersaing dengan Malaysia untuk mendapatkan posisi eksportir CPO terbesar dunia. Kinerja perusahaan sawit menjadi faktor kunci kemampuan Indonesia mempertahankan posisi sebagai eksportir CPO yang mencapai 55 persen hingga 57 persen kebutuhan dunia.
"Indonesia masih menempati peringkat pertama eksportir CPO dan turunannya di pasar global, jadi saya rasa bagi negara lain untuk ambil alih dengan waktu yang singkat. Jadi pasti Indonesia jadi peringkat pertama lagi ketika larangan ekspor dicabut," jelasnya.
Advertisement
Keran Ekspor CPO Dibuka, Potensi IPO Perusahaan Sawit Makin Besar
Sebelumnya, kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor Crude Palm Oil (CPO) saat ini memberikan potensi besar bagi perusahaan sawit untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mendapatkan tambahan modal baru melalui penawaran saham umum perdana (IPO).
Komisaris PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS) Robiyanto, mengatakan perusahaan perkebunan sawit ini akan menjadikan momentum kenaikan harga CPO untuk melepas saham ke publik di tahun ini.
"Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas bisnis dan memastikan tata kelola perusahaan menjadi lebih akuntabel dan transparan karena menjadi milik publik," terang Robiyanto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/6/2022).
Manajemen menargetkan perolehan dana sebanyak-banyaknya Rp 900 miliar. Dana hasil IPO akan digunakan untuk membiayai kegiatan penanaman baru, baik di lahan inti, maupun meningkatkan kualitas tanaman plasma petani, serta pembangunan pabrik baru.
Dalam lima tahun ke depan atau tahun 2027, NSS menargetkan sudah memiliki lahan plasma seluas 9.500 ha, sebanyak 3 PKS dengan kapasitas masing-masing 60 ton per jam.
Sejalan perbaikan dari sisi industri sawit, pihaknya meyakini upaya perusahaan memenuhi sertifikat penerapan program lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG), yaitu ISPO, juga akan memperkuat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di NSS.
Head Of Equity Research PT Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto menganalisis, selain dukungan dari kenaikan harga minyak sawit mentah,kinerja produsen minyak sawit akan meningkat karena pemerintah telah mengembalikan kebijakan ekspor CPO.
"Kebijakan pemerintah membuka kembali ekspor menjadi potensi besar bagi saham-saham yang mau IPO. Tetapi memang perlu dicermati juga iklim investasinya bagaimana. Tapi kalau emiten sawit sih, saat ini sedang booming, pasti ada saja yang mau beli," ungkapnya, di Jakarta, Jumat (17/6).
Kebijakan DMO
Di awal tahun, pemerintah menaikkan batas maksimal ekspor atau domestic market obligation (DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen dari total produksi. Saat ini, kebijakan kembali ke DMO 20 persen sejak 23 Mei 2022.
Dia mengatakan, untuk saham emiten sawit yang sudah terlebih dahulu tercatat di Bursa Efek Indonesia hampir semua mencatatkan kenaikan harga. Dia mencontohkan, sejak awal tahun, harga saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) naik dari 9.000 menjadi 12.000 per saham. Saham PT London Sumatera Tbk (LSIP) menguat dari 1.100 menjadi 1.200 per saham.
Namun, David mengemukakan, kenaikan harga saham emiten sawit memang tidak sebesar kenaikan harga CPO. Kondisi ini, menurutnya, terjadi karena pasar masih mencermati konsistensi kebijakan pemerintah. Sejumlah perusahaan sawit juga masih perlu waktu menegosiasikan kontrak baru yang sempat terputus akibat kebijakan menambah kuota larangan ekspor di awal tahun.
"Potensi kenaikan harga saham emiten sawit besar. Tetapi belum melonjak karena adanya kebijakan tadi. Nanti ada nggak boleh ekspor, ada DMO dan sebagainya. Ini yang membuat harganya melonjak tidak terlalu signfikan," ujar David yang juga Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI).
Advertisement