Liputan6.com, Jakarta - Kepala ekonom di perusahaan keuangan jepang Nomura, Rob Subbaraman meramal bahwa sejumlah negara ekonomi besar di dunia akan jatuh ke dalam resesi dalam 12 bulan ke depan, karena bank sentral bergerak untuk secara agresif memperketat kebijakan moneter untuk melawan lonjakan inflasi.
Pernyataan Subbaraman menandai ramalan terbaru dari banyak prediksi bank-bank besar di dunia terkait resesi ekonomi.
Baca Juga
"Saat ini bank sentral, banyak dari mereka telah beralih ke mandat tunggal, dan itu untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif," kata Subbaraman, yang juga merupakan kepala riset pasar global Asia ex-Japan, dikutip dari CNBC International Selasa (5/7/2022).
Advertisement
"Itu berarti kenaikan tarif muatan depan. Kita sudah memperingatkan selama beberapa bulan tentang risiko resesi. Sekarang kita melihat banyak negara maju yang benar-benar bakal jatuh ke dalam resesi," ujarnya kepada CNBC Street Signs Asia.
Selain Amerika Serikat, Nomura juga memperkirakan resesi akan terjadi di negara-negara Eropa atau zona euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada tahun depan.
Subbaraman menyebut, bank-bank sentral di seluruh dunia mempertahankan kebijakan moneter yang longgar terlalu lama, dengan harapan inflasi akan bersifat sementara.
"Satu hal lagi yang saya tunjukkan bahwa, ketika ada banyak ekonomi yang melemah, Anda tidak dapat mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan. Itulah alasan lain mengapa kita menganggap risiko resesi ini sangat nyata dan kemungkinan akan terjadi,” jelasnya.
Ramalan Nomura Soal Resesi AS
Terkait AS, Nomura memperkirakan resesi yang dangkal tapi panjang dari lima kuartal mulai dari kuartal terakhir 2022.
"AS akan jatuh ke dalam resesi – pertumbuhan PDB kuartal-ke-kuartal yang begitu negatif dimulai pada kuartal ke-4 tahun ini. Ini akan menjadi resesi yang dangkal tapi panjang. Kami melihatnya selama lima kuartal berturut-turut," kata Subbaraman.
Diketahui bahwa Federal Reserve atau bank sentral AS dan Bank Sentral Eropa termasuk di antara bank sentral besar yang berusaha mendongkrak inflasi dengan kenaikan suku bunga.
The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin ke kisaran 1,5 persen menjadi -1,75 persen pada bulan Juni, dan Ketua The Fed Jerome Powell telah mengindikasikan mungkin ada kenaikan lagi sebesar 50 atau 75 basis poin pada bulan Juli ini.
"The Fed akan memperketat resesi ini dan dari itu karena kami melihat inflasi sebagai sesuatu yang lengket – akan sulit untuk turun," ungkap Subbaraman.
"Kita sudah melihat bahwa kebijakan moneter The Fed yang naik 75 basis poin pada bulan Juli dan kemudian 50 pada pertemuan berikutnya. Kemudian serangkaian 25 basis poin bakal terjadi sampai suku bunga The Fed di 3,75 persen pada Februari tahun depan," paparnya.
Advertisement
Risiko yang Dihadapi Negara Ekonomi Besar Lainnya
Dalam catatan penelitiannya, Nomura menggarisbawahi beberapa negara lain termasuk Australia, Kanada, dan Korea Selatan yang mengalami lonjakan harga di sektor perumahan yang didorong oleh utang.
Laporan Nomura mengatakan, negara-negara ini berisiko mengalami resesi yang lebih dalam dari perkiraan jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan perumahan dan deleveraging.
"Salah satunya yang tak biasa adalah di China, yang sudah pulih dari resesi karena ekonomi terbuka di tengah kebijakan akomodatif, namun ada risiko penguncian baru dan resesi lain, selama Beijing tetap pada strategi nol-Covid-19," kata catatan itu.
Subbaraman memperingatkan bahwa, jika bank sentral tidak memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi sekarang, dampak berat agi perekonomian karena berpindah ke rezim inflasi yang tinggi akan jauh lebih besar.
"Ini akan menyebabkan spiral harga upah, yang bahkan lebih menyakitkan bagi ekonomi dan bagi masyarakat dalam jangka panjang," tambahnya.