Liputan6.com, Jakarta - Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa suku bunga global kemungkinan akan terus meningkat hingga 2023, ketika harga yang memanas akan mulai mendingin sebagai tanggapan atas tindakan dari bank sentral.
Meski harga komoditas, seperti minyak, telah menurun dalam beberapa bulan terakhir, Georgieva memperingatkan penurunan itu adalah tanggapan terhadap risiko resesi dan belum tentu karena inflasi telah terkendali.
Baca Juga
"Bank-bank sentral sedang melangkah untuk mengendalikan inflasi, itu adalah prioritas. Mereka harus terus berjalan sampai jelas bahwa ekspektasi inflasi tetap tertambat dengan kuat," kata Georgieva, dikutip dari CNBC International, Senin (18/7/2022).Â
Advertisement
"Saat ini kita masih melihat inflasi naik, kita harus menyiramnya dengan air dingin," ujar dia pada pertemuan G-20 di Bali.
Gangguan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah mendorong kemacetan rantai pasokan, ditambah dengan dampak perang Rusia-Ukraina.Â
Situasi tersebut memicu lonjakan harga barang-barang termasuk kebutuhan pokok seperti pangan, pupuk dan energi.
Harga pangan global mencapai titik tertinggi sepanjang masa antara Maret dan April 2022 ini, menurut Bank Dunia.
Indeks Harga Komoditas Pangan Bank Dunia untuk Maret-April naik 15 persen selama dua bulan sebelumnya dan lebih dari 80 persen lebih tinggi dari dua tahun lalu.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga mengatakan dalam pertemuan G-20 pada Jumat (15/7) bahwa kekurangan gizi global akan meningkat sebesar 7,6 juta tahun ini, dan meningkat lagi sebesar 19 juta pada 2023 mendatang.
Harga Minyak Mulai Turun, Tapi Bahaya Inflasi Masih Menghantui
Harga minyak telah mendatar dan mulai menurun, jatuh dari level tertinggi USD 120 per barel pada awal Juni 2022 menjadi di bawah USD 100 per barel minggu ini.
Namun, inflasi konsumen di AS mencatat rekor tertinggi dalam 40 tahun sebesar 9,1 persen bulan lalu, suatu kondisi yang diakui Menteri Keuangan Janet Yellen di G-20 sebagai inflasi yang ssangat tinggi.
Georgieva mengatakan kepada CNBC bahwa sangat penting untuk mengendalikan inflasi, jika tidak pendapatan akan terkikis - berisiko memukul ekonomi negara termiskin di dunia.
Adapun Menkeu AS Janet Yellen yang mengatakan kepada G-20 tentang pentingnya bagi pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan pedoman dan tanggapan kebijakan yang akan "meminimalkan durasi dan keparahan resesi" serta "mengurangi konsekuensi ekonomi yang merugikan. pada perusahaan dan individu.
Saat menjelaskan terkait buku pedoman Indonesia, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa mengendalikan permintaan adalah kunci saat ini karena langkah-langkah pelonggaran fiskal dan moneter yang dilakukan pada awal pandemi Covid-19 telah memulihkan permintaan tetapi tidak memasok.
Indonesia, mengangkat batas defisit fiskal 3 persen – selama tiga tahun – untuk menyuntikkan stimulus dalam perekonomian melawan kondisi yang ditimbulkan oleh pandemi, katanya.
"Kitai harus mengakui bahwa permintaan telah didorong oleh kebijakan countercyclical," ujar Sri Mulyani.
"Dua tahun lalu, kita berusaha menyelamatkan ekonomi dari keruntuhan pasokan dan permintaan karena pandemi." Namun Sri Mulyani mengatakan, sejak itu pemulihan permintaan telah melampaui pasokan.
Advertisement
Tertinggi dalam 40 Tahun, Inflasi AS Meroket 9,1 Persen di Juni 2022
Inflasi Amerika Serikat melonjak hingga 9,1 persen pada Juni 2022, didorong kenaikan harga makanan dan BBM yang brlangsung di negara itu.
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (14/7/2022) Consumer Price Index sebesar 9,1 persen selama 12 bulan terakhir hingga Juni 2022, merupakan peningkatan terbesar sejak November 1981, menurut Departemen Tenaga Kerja AS.
Energi menyumbang setengah dari kenaikan harga di AS dalam sebulan, karena harga bensin melonjak 11,2 persen pada Juni 2022 dan 59,9 persen selama setahun terakhir.
Biaya energi di AS secara keseluruhan mencatat kenaikan tahunan terbesar sejak April 1980.
Ditambah lagi, perang Rusia-Ukraina telah mendorong harga energi dan pangan global lebih tinggi, serta harga gas AS bulan lalu mencapai rekor lebih dari USD 5 per galon.
Namun, biaya energi di AS telah mereda dalam beberapa pekan terakhir, yang dapat mulai mengurangi beberapa tekanan pada konsumen.
Tetapi bank sentral atau Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan melanjutkan kenaikan suku bunga agresifnya karena mencoba meredam lonjakan harga dengan mendinginkan permintaan sebelum inflasi naik lagi.
Di tengah naiknya inflasi, survei ekonomi The Fed juga menunjukkan kekhawatiran resesi yang meningkat.Â
Laporan yang disebut sebagai Beige Book ini mengumpulkan pandangan dari 12 distrik The Fed, melihat pertumbuhan ekonomi akan berjalan biasa-biasa saja.
Adapun lima distrik yang mengkhawatirkan ada peningkatan risiko resesi.
"Serupa dengan laporan sebelumnya, prospek pertumbuhan ekonomi masa depan sebagian besar negatif di antara distrik yang melaporkan, dengan ekspektasi melemahnya permintaan lebih lanjut selama 6 hingga 12 bulan ke depan," kata laporan itu, dikutip dari CNBC International.