Kompak dengan Joe Biden, Bos The Fed AS Juga Yakin AS Sedang Tidak Resesi

Ketua The Fed Jerome Powell meyakini ekonomi AS tidak akan jatuh ke esesi karena kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 28 Jul 2022, 12:03 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2022, 12:03 WIB
Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)
Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan dirinya tidak melihat ekonomi AS berada dalam resesi karena bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi.(Brandon Mowinkel/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan dirinya tidak melihat ekonomi AS berada dalam resesi karena bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi.

"Saya tidak berpikir AS saat ini dalam resesi dan alasannya adalah ada terlalu banyak area ekonomi yang berkinerja terlalu baik," kata Powell, dikutip dari CNBC International, Kamis (28/7/2022).

"Ini adalah pasar tenaga kerja yang sangat kuat ... tidak masuk akal bahwa ekonomi akan berada dalam resesi dengan hal semacam ini terjadi," ujarnya, dalam sebuah konferensi pers menyusul keputusan Fed untuk menaikkan suku bunga sebesar 0,75 poin persentase.

Powell mengatakan dia belum melihat laporan terbaru soal PDB AS, dan kini sedang menunggu keluarnya laporan tersebut.

Kenaikan suku bunga menandai langkah terbaru dalam upaya The Fed untuk meredam tekanan inflasi tertinggi AS dalam empat dekade. 

Investor telah khawatir kenaikan suku bunga The Fed dapat mengarahkan ekonomi ke dalam resesi, tetapi Powell juga mengatakan bank sentral akan mengamati dengan cermat data ekonomi untuk menentukan langkah di masa depan.

Sementara kenaikan besar lainnya mungkin diperlukan, dia menambahkan bahwa akan tiba saatnya The Fed perlu memperlambat laju kenaikan.

Sebelum Powell, Presiden Joe Biden telah menyampaikan keyakinannya bahwa AS tak akan masuk ke jurang resesi. 

Keyakinan itu ia sampaikan meskipun angka PDB AS yang akan dirilis akhir pekan ini mungkin menunjukkan ekonomi menyusut untuk kuartal kedua berturut-turut.

"Kita tidak akan masuk ke dalam resesi, dalam pandangan saya," kata Biden, ketika ditanya seberapa khawatir tentang ramalan resesi yang kian berdatangan, dikutip dari Fox Business.

Presiden ke- AS itu juga mengatakan bahwa tingkat pengangguran di negaranya masih dalam angka terendah dalam sejarah, sebesar 3,6 persen. "Kita masih melihat minat orang-orang untuk berinvestasi," ungkap Biden.

Sri Mulyani Sebut Indonesia Lebih Perkasa dari AS dan Eropa soal Ancaman Resesi

Raker Kemenkeu dengan Komisi XI DPR RI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/1/2022). Rapat kerja tersebut terkait evaluasi APBN tahun 2021 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 serta rencana PEN 2022. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus mengamati ancaman resesi sebagai imbas dari pengetatan moneter yang dilakukan berbagai negara dunia saat ini.

Namun secara data, Indonesia tampaknya masih jauh lebih aman dari resesi dibanding negara lain. 

Sri Mulyani menyebut, risiko ini muncul akibat adanya kenaikan harga energi dan komoditas pangan. Sehingga negara-negara maju cenderung tidak siap menghadapi situasi ini. 

"Inggris sekarang inflasi sudah 9,4 (persen). Bulan lalu sudah di atas 9 (persen), 9,1 (persen), sekarang 9,4 (persen). Amerika juga sama. Sebelumnya 8,4 (persen) sekarang melonjak ke 9,1 (persen). Eropa pun sama, sekarang inflasinya memuncak di 8,6 (persen)," beber Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (27/7/2022).

Padahal, ia melanjutkan, negara-negara Eropa sudah terbiasa dengan tingkat inflasi 0 persen atau mendekati 0 persen.

Sehingga kenaikan sampai delapan kali lipat atau sembilan kali lipat merupakan suatu shock dalam perekonomian mereka. 

"Ini akan direspon dengan kebijakan pengetatan moneter, baik dalam bentuk kenaikan suku bunga maupun dari sisi pengetatan likuiditas pada currency masing-masing," ujar Sri Mulyani. 

Sementara di Amerika Serikat (AS) yang menguasai transaksi dunia dengan USD, harus berjibaku dengan tingkat inflasi 9,1 persen per Juni 2022.

Situasi ini membuat bank sentral AS The Federal Reserve makin agresif menaikan suku bunga acuannya, yang jelas turut mempengaruhi kesehatan perekonomian global. 

"Secara historis, setiap kali Amerika menaikan suku bunga apalagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging," tekan Sri Mulyani. 

Melihat situasi ini, mengutip data survey Bloomberg, potensi AS terkena resesi mencapai 40 persen. Sementara Eropa memiliki probabilitas lebih tinggi, mencapai 55 persen. 

"Jadi kalau melihat berbagai negara dunia yang menghadapi dilema kenaikan inflasi tinggi dan pengetatan moneter, sehingga menyebabkan pelemahan ekonomi mereka, mereka dihadapkan pada kemungkinan munculnya resesi di negara tersebut," tuturnya. 

Laporan The Fed Buka-bukaan Resesi AS Kian di Depan Mata

Rak-Rak Supermarket Kosong di AS Karena Kelangkaan Susu Formula
Sebuah tanda terpasang di dekat sejumlah kecil campuran minuman nutrisi balita di tengah kelangkaan susu formula bayi di Target di Stevensville, Maryland, AS, pada 16 Mei 2022. Kelangkaan susu formula bayi secara nasional berlanjut karena krisis rantai pasokan terkait dengan pandemi covid-19 yang telah membebani stok susu formula negara, sebuah masalah yang semakin diperburuk oleh penarikan produk utama pada bulan Februari. (Jim WATSON / AFP)

Sebuah survei ekonomi oleh bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) menunjukkan kekhawatiran resesi yang meningkat bersama dengan keyakinan bahwa lonjakan inflasi akan berlangsung setidaknya sampai akhir tahun.

Dilansir dari CNBC International, Kamis (14/7/2022) laporan yang disebut sebagai Beige Book ini mengumpulkan pandangan dari 12 distrik The Fed, melihat pertumbuhan ekonomi akan berjalan biasa-biasa saja.

Adapun lima distrik yang mengkhawatirkan ada peningkatan risiko resesi.

"Serupa dengan laporan sebelumnya, prospek pertumbuhan ekonomi masa depan sebagian besar negatif di antara distrik yang melaporkan, dengan ekspektasi melemahnya permintaan lebih lanjut selama 6 hingga 12 bulan ke depan," kata laporan itu.

Terkait inflasi AS, yang berjalan pada tingkat tahunan tercepat sejak November 1981 dengan mencetak rekor 9,1 persen pada Juni 2022, laporan tersebut menemukan kenaikan harga yang substansial di seluruh negeri.

Harga di sejumlah sektor industri seperti kayu dan baja telah menurun, tetapi ada kenaikan yang signifikan pada pangan, energi, dan komoditas lainnya.

Perusahaan-perusahaan juga telah memberi sinyal bahwa mereka masih dapat meneruskan kenaikan harga kepada pelanggan, sehingga faktor pendorong inflasi berpotensi masih tetap kuat.

"Sebagian besar kontak memperkirakan tekanan harga akan bertahan setidaknya sampai akhir tahun," ungkap laporan Beige Book The Fed.

Perusahaan di empat distrik mengatakan mereka sedang mempertimbangkan atau telah memberikan bonus untuk mengimbangi kenaikan harga.

Sementara dua distrik lainnya, pekerja mencari upah yang lebih tinggi untuk mengimbangi inflasi yang mencapai 9,1 persen di bulan Juni.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya