Liputan6.com, Jakarta - Kabar mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tengah menjadi sorotan masyarakat Indonesia dalam beberapa hari terakhir. Namun, harga BBM hari ini belum naik terutama untuk yang jenis subsidi.
Sejauh ini, masyarakat masih menanti kepastian kenaikan harga BBM terbaru yang dikabarkan akan dilakukan pemerintah.
Baca Juga
Saat dikonfirmasi kepada PT Pertamina (Persero), Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, pihaknya belum mengetahui secara pasti kapan harga BBM naik untuk jenis Pertalite dan Solar.
Advertisement
Saat ini, Pertamina masih menunggu instruksi dari pemerintah selaku regulator.
"Belum (tahu), kami masih menunggu arahan dari regulator," ujar Irto Ginting kepada Merdeka.com di Jakarta, dikutip Kamis (1/9/2022).
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics Law and Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan, dia berharap Pemerintah benar-benar mencermati kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite.
Hal itu mengingat pertimbangan kesiapan masyarakat miskin menghadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022.
"Masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak, mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain. Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin," kata Bhima dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com.
"Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," ujarnya.Â
Bhima memperingatkan, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi.
"Imbas nya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam," bebernya.
Surplus APBN Bisa Dipakai Untuk Tambah Subsidi Energi ?
Bhima memaparkan, sepanjang Januari ke Juli 2022 serapan subsidi energi baru bernilai Rp 88,7 triliun berdasarkan data APBN.
"Sementara APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB diperiode Juli 2022. Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," katanya.Â
"Win-win solution nya, pemerintah bisa lakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar. Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi," lanjut Bhima.
Dia menyarankan, baiknya untuk memerhatikan dan menangani kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, sebelum adanya kenaikan harga dan pembatasan untuk BBM pertalite.
Advertisement
Kelas Menengah Juga Rentan akan Kenaikan Harga BBM
Sementara terkait bansos, Bhima juga menyoroi 115 juta kelas menengah rentan yang masih perlu dilindungi oleh dana kompensasi kenaikan harga BBM.
"Tidak bisa berhenti pada PKH, atau BLT, tapi para pekerja yang upah minimum nya cuma naik 1 persen perlu dibantu dengan skema subsidi upah. Begitu juga dengan UMKM perlu diberikan dana kompensasi misalnya subsidi bunga KUR nya dinaikkan dua kali lipat, dikasih bantuan permodalan," ujar Bhima.
"Permasalahan berikutnya adalah seberapa cepat pencairan bansos kompensasi BBM? Kalau harga BBM naik, tapi bansos baru dihitung, belum 100 persen cair maka efeknya sudah bisa menurunkan konsumsi rumah tangga. Bansos seringkali bermasalah soal pendataan dan kecepatan eksekusi. Misalnya BBM mau naik bulan September, maka bansos kompensasi idealnya akhir Agustus sudah cair semua," tambah dia.