Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut saat ini tercatat ada 60 negara yang akan mengalami krisis utang. Salah satu negara yang sudah mengalami lebih dulu adalah Sri Lanka.
"Saat ini ada lebih dari 60 negara yang diperkirakan dalam situasi debt distress atau kondisi keuangan dan utangnya dalam kondisi distress yang kemungkinan dia bisa memicu krisis utang, maupun krisis keuangan, atau krisis ekonomi," kata Sri Mulyani dalam acara Leaders Talk Series #2 bertajuk 'Indonesia Energy Investment Landscape', Rabu (26/10/2022).
Terjadinya potensi krisis utang, kata Menkeu disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya dampak pandemi covid-19 yang hingga kini belum berakhir, kemudian diperparah dengan perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan krisis pangan dan energi, serta menimbulkan lonjakan inflasi di mana-mana.
Advertisement
"Dengan pemulihan ekonomi yang sangat cepat, dunia dihadapkan masalah rantai pasok supply-nya tidak mampu mengikuti permintaan, maka muncullah tekanan harga-harga atau inflasi. Diperparah dengan terjadinya perang saat ini," ungkap Menkeu.
Kondisi tersebut membuat negara maju merespon dengan mengubah arah kebijakan moneternya, seperti Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga acuan, dan menimbulkan gejolak besar di pasar keuangan sehingga dolar melemahkan mata uang negara lain.
"Kalau otoritas moneter di AS menaikkan suku bunga dan kenaikan likuiditas, menyebabkan penguatan dari dolar luar biasa. Ini menimbulkan dampak yang harus dilihat. Kondisi ini yang kemudian menimbulkan tekanan yang makin besar," ujar Menkeu.
Lebih lanjut, Menkeu menyebut prospek ekonomi global yang diprediksi “Gelap” oleh Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) bukan menakut-nakuti, tapi bentuk suatu kewaspadaan.
Kendati begitu, kata Menkeu, tahun depan Indonesia diperkirakan masih bisa menjaga pertumbuhan ekonominya, mungkin di sisi lain tekanan akan muncul bertubi-tubi karena seperti apa yang disampaikan IMF bahwa tahun 2023 akan gelap.
“Itu yang disebutkan gelap, kalau saya mengatakan begitu Saya dianggap menakut-nakuti, tapi sebetulnya enggak, hanya ingin menyampaikan bahwa resiko itu sangat ada dan oleh karena itu kita harus waspada,” pungkasnya.
AS, Jerman, Italia dan Australia Hapus Utang RI, Ternyata Ada Syaratnya
Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo menjelaskan penghapusan utang Indonesia sebesar USD334,94 juta atau setara Rp5 triliun oleh empat negara maju, yaitu Jerman, Italia, Amerika Serikat (AS), dan Australia, melalui skema konversi.
“Apa itu hasil restrukturisasi? Betul. Sebanyak 4 negara kreditur berkomitmen menghapus utang Indonesia lewat skema konversi atau debt swap. Konversi utang yang disepakati adalah ke dalam bentuk program/proyek yang harus dilaksanakan oleh pemerintah RI,” kata Yustinus dikutip melalui twitternya @prastow, dikutip Rabu (19/10/2022).
Yustinus menyampaikan, Restrukturisasi pinjaman adalah reorganisasi pinjaman, yang melibatkan pemberi dan penerima, untuk mengubah persyaratan yang telah disepakati dalam rangka membayar kembali pinjaman, dengan skema rescheduling, refinancing, debt forgiveness, debt conversion, atau prepayment.
Lanjut, kata Yustinus, proyek yang akan dijalankan bermacam-macam. Misalnya, dari kreditur Jerman untuk proyek pendidikan, edukasi, kesehatan, dan global fund. Kemudian, Australia untuk kesehatan.
“AS untuk tropical forest, dan debt swap dengan kreditur Italia untuk proyek housing and settlement. Menarik bukan?,” ujarnya.
Adapun total kumulatif nilai komitmen debt swap yang disepakati dengan kreditor bilateral adalah eq USD334,94juta (utang yang akan dihapus). Hingga per 30 Septembert 2022 sudah terealisasi sebesar eq USD 290,51 juta.
“Capaian yang cukup bagus dan menunjukkan mutual trust yang tinggi,” ujarnya.
Disisi lain, sebagai bentuk komitmen terhadap pelaksanaan kegiatan yang disepakati, Pemerintah juga turut berkontribusi untuk melaksanakan kegiatan tersebut dengan nilai eq USD 215,35 juta. Ini tak lain cara untuk meneguhkan komitmen dengan sungguh-sungguh.
“Jadi, jelas penghapusan utang ini memang menimbulkan konsekuensi, namun konsekuensi yang baik. Sejalan dengan semangat PBB: Ketimbang digunakan membayar utang, lebih baik uangnya dipakai untuk berinvestasi dalam ketahanan iklim, infrastruktur berkelanjutan dan transisi hijau perekonomian,” pungkasnya.
Advertisement
Utang Luar Negeri Indonesia Turun, Nilainya Jadi USD 397,4 Miliar
Bank Indonesia (BI) melaporkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Agustus 2022 kembali menurun.
Posisi ULN Indonesia pada akhir Agustus 2022 tercatat sebesar USD 397,4 miliar, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar USD 400,2 miliar.
Perkembangan utang Indonesia tersebut disebabkan oleh penurunan ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) maupun sektor swasta.
Secara tahunan, posisi ULN Agustus 2022 mengalami kontraksi sebesar 6,5 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya yang sebesar 4,1 persen (yoy).
"ULN pemerintah pada Agustus 2022 melanjutkan tren penurunan. Posisi utang pemerintah pada Agustus 2022 sebesar USD 184,9 miliar dolar, lebih rendah dari posisi bulan sebelumnya sebesar USD 185,6 miliar dolar," terang Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Junanto Herdiawan, Senin (17/10/2022).
Junanto menjelaskan, secara tahunan, ULN pemerintah mengalami kontraksi sebesar 10,9 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada Juli 2022 yang sebesar 9,9 persen (yoy).
"Penurunan utang pemerintah terjadi akibat adanya penurunan pinjaman seiring dengan pelunasan pinjaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan penarikan pinjaman dalam mendukung pembiayaan program dan proyek prioritas," ujar dia.
Sementara itu, ia melanjutkan, instrumen Surat Berharga Negara (SBN) secara neto mengalami kenaikan posisi seiring dengan peningkatan inflow pada SBN domestik.
Menurutnya, itu mencerminkan kepercayaan investor asing yang tetap terjaga di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Junanto menambahkan, penarikan ULN yang dilakukan di Agustus 2022 tetap diarahkan pada pembiayaan sektor produktif dan diupayakan terus mendorong akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dukungan ULN Pemerintah dalam memenuhi pembiayaan sektor produktif dan kebutuhan belanja prioritas antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,5 persen dari total ULN pemerintah), sektor jasa pendidikan (16,6 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,2 persen), sektor konstruksi (14,2 persen), dan sektor jasa keuangan dan asuransi (11,7 persen).
"Posisi utang pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruhnya merupakan ULN dalam jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah," imbuh Junanto.