Bukan Skema Power Wheeling, Rakyat Disebut Lebih Butuh Listrik Teralirkan ke Daerah Terpencil

Skema power wheeling akan membuat pembangkit swasta bebas menjual listrik langsung kepada konsumen di mana pun, melalui jaringan transmisi dan distribusi PLN.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Jan 2023, 13:39 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2023, 10:45 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan menyuplai 31% dari energi listrik yang dibutuhkan Riau dan menyuplai 4% dari energi listrik yang dibutuhkan Pulau Sumatera. (Liputan6.com/Pool/PLN)
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan menyuplai 31% dari energi listrik yang dibutuhkan Riau dan menyuplai 4% dari energi listrik yang dibutuhkan Pulau Sumatera. (Liputan6.com/Pool/PLN)

Liputan6.com, Jakarta Rencana penerapan skema power wheeling masuk di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) menuai beragam respons. Salah satunya kekhawatiran terhadap kerugian yang dialami negara.

Anggota Komisi VII DPR RI Yulian Gunhar mengatakan, skema power wheeling akan membuat pembangkit swasta bebas menjual listrik langsung kepada konsumen di mana pun, melalui jaringan transmisi dan distribusi PLN. “Sedangkan PLN hanya mendapatkan toll fee (biaya angkut) saja,” kata Gunhar.

Dia pun menolak skema power wheeling masuk di dalam RUU EBT yang dibahas Komisi VII DPR RI bersama pemerintah. Menurutnya, dengan skema itu akan sangat berbau liberalisasi PLN dan hanya akan menguntungkan pembangkit swasta.

Menurut Politisi PDI-Perjuangan itu, jika skema power wheeling dimasukkan dalam pembahasan RUU EBT, maka akan menimbulkan sejumlah kerugian keuangan negara. Sebab, PLN akan wajib membeli listrik yang diproduksi pembangkit swasta, walau dalam kondisi over supply.

“PLN harus menanggung beban Take or Pay (ToP) jika listrik yang disediakan swasta tidak terserap atau over supply. Di mana setiap tambahan pembangkit sebesar 1 GW akan mengakibatkan tambahan beban ToP rata-rata sebesar Rp2,99 triliun,” ungkap Gunhar.

Dia menambahkan, beban terhadap keuangan negara tersebut akan mengurangi kemampuan untuk mengaliri listrik ke berbagai wilayah terpencil yang saat ini belum terjangkau listrik.

“Saat ini yang sangat prioritas dibutuhkan rakyat adalah mengaliri listrik ke daerah terpencil, serta kondisi over supply listrik yang biayanya ditanggung negara, bukan skema power wheeling,” jelas dia.

Gunhar melanjutkan, jika klausul tersebut diloloskan maka sejatinya melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait unbundling yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945.

Power wheeling pada dasarnya bentuk liberalisasi PLN, bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan kekayaan negara harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk masyarakat. Sehingga aset pemerintah berupa transmisi dan jaringan distribusi sejatinya tidak bisa dikomersialisasikan,” tutup Gunhar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kebebasan Swasta Jual Listrik EBT Bakal jadi Beban Negara

PLN
PT PLN (Persero) telah menyalurkan 511.892 megawatt hour (MWh) listrik hijau melalui layanan sertifikat energi baru terbarukan (EBT) atau Renewable Energy Certificate (REC) kepada lebih dari 160 pelanggan bisnis dan industri hingga Juni 2022. (Dok. PLN)

Rencana pembebasan penjualan listrik dari pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) milik swasta atau Power Wheeling menjadi sorotan, sebab dianggap merugikan negara.

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengatakan pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulamh skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Sebab, skema tersebut membebaskan sektor kelistrikan dan akan merugikan negara.

Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dengan skema ini, produsen listrik swasta (independent power producer/ IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.

"Jika klausul tersebut diloloskan, ini sama dengan liberalisasi sektor kelistrikan yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab listrik merupakan kebutuhan dasar rakyat yang harusnya dikuasai oleh negara," lata Syarif, di Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Syarif melanjutkan, dengan adanya skema tersebut, aset yang semestinya bisa dimaksimalkan oleh negara malah justru harus berbagi dengan swasta. Dimana, hal ini akan memberatkan PLN sebagai operator.

PLN merupakan BUMN yang selama ini lini bisnis utamanya adalah penjualan listrik dari investasi pembangunan infrastruktur. Dengan adanya skema tersebut, infrastruktur yang dibangun oleh PLN memakai investasi internal maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) malah justru dinikmati oleh swasta.

"PLN juga akan kehilangan pasarnya karena swasta bisa langsung menjual listriknya ke masyarakat," ungkapnya.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya