Pekerja Generasi Y dan Z Desak WFH Diterapkan Lagi

Pekerja generasi muda sekarang lebih menyukai pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh. Bahkan mereka sampai membuat petisi untuk melanjutkan kembali sistem kerja WFH.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Jan 2023, 19:40 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2023, 19:40 WIB
Peningkatan Mobilitas Masyarakat di Jakarta
Sejumlah pekerja berjalan saat jam pulang kerja di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (3/11/2021). Pekerja generasi muda sekarang lebih menyukai pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh. Bahkan mereka sampai membuat petisi untuk melanjutkan kembali sistem kerja WFH. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah mengungkapkan pekerja generasi muda sekarang lebih menyukai pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh. Bahkan mereka sampai membuat petisi untuk melanjutkan kembali sistem kerja dari rumah atau work frome home (WFH).

"Saya kira pengalaman pandemi covid-19 menjadi habit baru bagi mereka dan mereka membuat petisi untuk kembali memberlakukan WFH," kata Ida dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda 2023 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1).

Mereka yang dimaksud Ida merupakan pekerja dari generasi Y dan Z. Sebagai informasi, generasi Y merupakan orang yang lahir tahun 1981- 1996 atau tahun ini berusia 27 tahun sampai 41 tahun. Sedangkan generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 atau mereka yang berusia 11-25 tahun di 2023.

Dua generasi yang pernah mengalami masa kerja dari rumah atau jarak jauh saat pandemi merasa nyaman dengan gaya hidup baru ini. "Yang harus kita lihat adalah mereka ingin berada dalam remote working," kata dia.

Apalagi budaya kerja baru ini menjadi kata Ida merupakan bagian dari bonus demografi yang terjadi di Indonesia. Mengingat generasi Y dan Z yang mendominasi angkatan kerja sekarang.

Selain itu dua generasi ini sudah mulai mengombinasikan antara pekerjaan dengan hobi. Artinya mereka suka bekerja di bidang yang memang disenangi.

"(Mereka menyukai ) gabungan kesenangan dan pekerjaan," kata dia.

Kondisi tersebut menjadi tantangan baru bagi pemerintah dalam menyerap angkatan kerja. Sebab 2,72 persen dari 8,2 juta orang yang menganggur ini memiliki hambatan struktural.

Dia mengatakan mereka ini susah untuk diarahkan menjadi pegusaha baru. Artinya mereka tidak mau menjadi wirausahawan atau hanya ingin menjadi pekerja saja.

"Jadi ini angka yang menurut saya tantangan sekali. Kecil sekali diantara mereka yang berkeinginan jadi wirausahawan baru," pungkasnya.

 

Kadin: 52 Persen Pekerja Indonesia Tak Sesuai Kualifikasi

Jakarta PPKM Level 1, Pekerja Sektor non Esensial WFO 75 Persen
Sejumlah pekerja berjalan menuju halte di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (2/11/2021). Sektor non-esensial kini boleh mempekerjakan hingga 75 persen karyawannya dari kantor. Sebelumnya, angka ini dibatasi hingga 50 persen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia menyebut mayoritas pekerja Indonesia yang diserap berada di bawah kualifikasi. Angkanya mencapai 52 persen dari total tenaga kerja di dalam negeri.

Salah satu Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Sabda Putera Subekti mengungkap hal tersebut. Ini sekaligus berkaitan dengan tingkat kepuasan industri terhadap serapan tenaga kerja.

"Yang paling penting yang kita rasakan di industri ya, 52 persen pekerja di Indonesia itu underqualified (di bawah kualifikasi)," ujarnya dalam Rapat Panja Perguruan Tinggi Komisi X dengan Kadin Indonesia dan HIPMI, Selasa (17/1/2023).

"Jadi bukan hanya tingkat serapan sarjananya saja yang kita cermati, tapi juga yang terserap pun, tingkat kepuasan industri terhadap sarjana itu belum mencapai tingkat kepuasan tertentu, belum sesuai harapan," sambung pria yang menjabat Chief Education Officer Zenius itu.

Sabda menyebut, kondisi tersebut yang kemudian secara tak langsung perlu diserap industri sebagai langkah penyerapan tenaga kerja. Dia lantas membeberkan sejumlah faktor yang mempengaruhi besarnya porsi tersebut.

Pertama, adalah minimnya masukan terhadap kurikulum dalam pendidikan yang dijalankan. Menurutnya ini jadi tanggung jawab semua pihak termasuk pelaku industri dan akademisi.

Sabda mengaku, setelah menjajaki para bidang sumber daya manusia (SDM) di industri, ada ketidakcocokan antara kebutuhan industri dan lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Namun, posisinya bukan pada kemampuan teknikal.

"Apa masalahnya? bukan masalah technical skills saja, tapi yang sering saya dengar, bahwa yang kekurangan itu bukan teknikal skills langsung, tapi soft skill atau fundamental skills," ungkapnya.

Faktor-Faktor

Pemprov DKI Akan Dukung Pencabutan Status Pandemi Covid-19
Aktivitas pekerja saat jam pulang kantor di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022). Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan bakal mendukung pemerintah pusat jika hendak mencabut satus pandemi Covid-19 menjadi endemi dan akan menyesuaikan program-program penunjang kebijakan tersebut. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dia mencontohkan, maksudnya adalah kemampuan berpikir calon pekerja. Sebagai contoh, rendahnya pola berpikir secara saintifik atau etos kerja yang dinilai kurang.

"Kalau pengalaman saya dadlam perekrutan, misalnya, oke bisa (aplikasi) excel, menguasai alat, iya. Tapi mengambil data yang tepat, memilih data yang tepat, memfilter data yang tepat, begitu. Menguasai bahaasa programming-nya oke, tapi meracik software dengan bagus, itu yang kurang," kata dia mengisahkan.

Kedua, Sabda melihat adanya perkembangan industri yang lebih cepat ketimbang kurikulum di dunia pendidikan. Sehingga penyerapan tenaga kerja lagi-lagi tidak sesuai dengan perkembangan industri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya