Aturan Turunan Devisa Hasil Ekspor Terbit, Eksportir Nakal Dilarang Ekspor

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah merilis aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE)

oleh Tira Santia diperbarui 28 Jul 2023, 11:00 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2023, 11:00 WIB
Neraca Perdagangan RI
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah merilis aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah merilis aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Aturan turunannya yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 73/2023 tentang Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif atas Pelanggaran Ketentuan DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.

Dikutip Liputan6.com, Jumat (28/7/2023), dalam aturan turunan tersebut tertulis pada Pasal 2 PMK, ditegaskan bahwa eksportir wajib memasukkan dan menempatkan devisa berupa Devisa Hasil Ekspor SDA dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan ke dalam sistem keuangan Indonesia melalui rekening khusus pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.

Adapun DHE SDA digunakan untuk pembayaran bea keluar dan pungutan lain di bidang ekspor, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, serta keperluan lain dari penanam modal.

Lebih lanjut dijelaskan pada pasal 4, jika pembayaran DHE SDA dilakukan melalui escrow account atau rekening bersama, eksportir wajib membuka akun tersebut pada LPEI maupun bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.

Kemudian, bagi eksportir yang telah memiliki escrow account di luar negeri, eksportir wajib memindahkan escrow account ke LPEI atau ke bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.

 

Kena Sanksi

Neraca Perdagangan RI
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selanjutnya, pada Pasal 5 disebutkan apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) eksportir tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana disebutkan pada Pasal 2, maka eksportir akan mendapatkan sanksi adminitratif dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa penangguhan pelayanan eskpor.

Namun, eksportir jangan khawatir, karena sanksi tersebut akan kembali dicabut jika eksportir telah melaksanakan penempatan DHE SDA sesuai dengan aturan yang berlaku.

Hal itu tertuang pada Pasal 6 ayat (1) “Hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau OJK yang menunjukkan Eksportir telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mencabut pengenaan sanksi administratif berupa Penangguhan Pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan."

Kabar baiknya, Pemerintah masih memberikan waktu kepada eksportir untuk mempersiapkan penempatan DHE. Lantaran, PMK Nomor 73 tahun 2023 yang telah ditandatangani oleh Sri Mulyani ini akan berlaku mulai 1 Agustus 2023.

Kebijakan Devisa Hasil Ekspor Mampu Stabilkan Ekonomi Indonesia

Neraca Perdagangan RI
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah optimis bahwa ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,3 persen di akhir tahun 2023. Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Jumat (5/5/2023).

Menko Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa, kebijakan yang sedang pemerintah dorong untuk menstabilkan ekonomi, dalam jangka pendek adalah penerapan devisa hasil ekspor. 

"Kenapa ini diperlukan? karena kita lihat Amerika masih menaikkan tingkat suku bunga. Kalau kita tidak mengambil langkah, maka potensi capital flight tinggi," jelas Airlangga.

"Kalau potensi capital flight tinggi tentu akan berdampak pada stabilitas Rupiah, sehingga devisa hasil eksport ini dalam waktu dekat akan segera diluncurkan," lanjutnya.

Seperti diketahui, Federal Reserve (Fed) atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) pada Kamis (4/5) kembali menaikkan suku bunga. 

The Fed meningkatkan suku bunga utamanya ke level tertinggi dalam 16 tahun, sebesar 0,25 persen. Ini adalah kenaikan ke-10 dalam 14 bulan.

Pergerakan tersebut telah mendorong suku bunga acuan The Fed antara 5 persen dan 5,25 persen.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya