Bangun Infrastruktur Hijau Buka Peluang Bisnis, Tapi Ada Syaratnya

CEO BloombergNEF Jon Moore mengungkap ada peluang bisnis yang besar dalam membangun infrastruktur hijau kedepannya

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 08 Sep 2023, 13:40 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2023, 13:40 WIB
CEO BloombergNEF Jon Moore mengungkap ada peluang bisnis yang besar dalam membangun infrastruktur hijau kedepannya
CEO BloombergNEF Jon Moore mengungkap ada peluang bisnis yang besar dalam membangun infrastruktur hijau kedepannya (dok: Arief)

Liputan6.com, Jakarta CEO BloombergNEF Jon Moore mengungkap ada peluang bisnis yang besar dalam membangun infrastruktur hijau kedepannya. Namun, ada beberapa poin yang jadi catatan agar bisnis bisa berjalan dengan prinsip 'green' dan sustainable.

Jon Moore menyebut, pembangunan infrastruktur hijau diperlukan dalam upaya transisi energi. Peluang bisnis itu mencakup pembangunan pembangkit energi baru terbarukan.

"Ada peluang bisnis besar untuk membangun green infrastructur," ungkapnya dalam Indonesia Sustainability Forum 2023 pada Sesi Pleno bertajuk Sustainable Mining of Critical Minerals to Bolster Decarbonization, ditulis Jumat (8/9/2023).

Guna mendukung proses bisnis bersih, Jon melihat perlu ada dukungan kebijakan. Utamanya kebijakan soal mineral kritis yang dimiliki atau dikuasai oleh negara.

"Apa yang dia punya, bagaimana dia menggunakannya, hingga bagaimana merkea menggunakan untuk kepentingan internasional," ujarnya.

Selanjutnya, yang paling penting adalah memastikan kegiatan dalam rantai pasok menjalankan juga prinsip-prinsip ramah lingkungan. Jon menekankan, sisi dari hulu ke hilir akan menentukan seberapa 'green' produk yang dihasilkan.

 


Pembangkit EBT

Energi Tenaga Surya
Studi BloombergNEF dan IESR menyebutkan, dalam jangka pendek energi surya perlu sekitar 18 GW untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dengan nilai investasi USD 14,1 miliar. (merdeka.com/Arie Basuki)

Misalnya, pasokan listrik ke kegiatan hilirisasi didapat dari sumber energi bersih dari pembangkit EBT. Kemudian, proses distribusinya menggunakan kendaraan-kendaraan yang nol emisi seperti kendaraan listrik.

"Saya pikir yang perlu di proses hilirisasi itu yang paling penting, diproses dengan pembangkit yang bersih. Jadi itu bagian dalam dekarbonisasi global, green power. Pastikan kalau itu menerapkan green power dari proses penambangan hingga pada proses hilirisasi, lalu anda punya untuk transport menggunakan EV, jadi itu juga bersih," paparnya.

"Jadi sekali lagi, ketika anda mengambil bijih baja, dan dibuat menjaid baja, itu akan menjadi green steel," sambung Jon.

Selanjutnya, kegiatan perusahana perlu diawasi dengan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Ini dinilai penting untuk menjaga kegiatan perusahaan tetap dalam jalur yang sesuai.

 


Modal Indonesia Tekan Emisi Karbon

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), emiten berkode PGEO siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT). (Foto: Pertamina Geothermal Energy)
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), emiten berkode PGEO siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT). (Foto: Pertamina Geothermal Energy)

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengungkap modal Indonesia dalam mendukung penurunan emisi karbon dan ekonomi berkelanjutan. Mulai dari sumber daya alam, hingga sumber daya manusia yang bisa dilatih.

Arsjad menyebut, Indonesia kaya akan mineral yang mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik. Pada saat yang sama, Indonesia kaya akan potensi bauran energi baru terbarukan (EBT).

"Kita punya potensi menghasilkan 440 GW tenaga surya, angin, dan air. Kita juga merupakan produsen nikel, timah, dan tembaga terkemuka di dunia yang merupakan mineral penting untuk produksi baterai dan teknologi energi ramah lingkungan lainnya," paparnya dalam ISF 2023, di Park Hyatt, Jakarta, Kamis (7/9/2023).

 


Potensi

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengungkap dampak dari perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengungkap dampak dari perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Selain sumber daya alam, Arsjad menyebut, Indonesia juga memiliki populasi muda dan terus bertambah. Artinya, ada peluang tenaga kerja yang dapat dilatih mengenai ekonomi ramah lingkungan.

"ini bukan hanya tentang kepemilikan sumber daya, kita berbicara tentang potensi kepemimpinan global dalam industri ramah lingkungan," kata dia.

Guna menangkap potensi ini, kata Arsjad, perlu kolaborasi dari setiap lapisan masyarakat. Baik pemerintah, pengusaha, hingga masyarakat sipil.

"Satu hal yang pasti kita tidak bisa bekerja sendiri untuk menyelesaikan tantangan yang kompleks ini. hal ini membutuhkan upaya kolaboratif dari semua sektor masyarakat, pemerintah, dunia usaha, LSM, dan masyarakat sipil," bebernya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya