Maskapai Ini Dituding Secara Ilegal Memecat 1.700 Pekerja

Pengadilan tertinggi Australia telah menolak upaya Qantas untuk membatalkan keputusan yang menyatakan bahwa maskapai tersebut secara ilegal melakukan outsourcing 1.700 posisi kerja selama pandemi.

oleh Vatrischa Putri Nur Sutrisno diperbarui 13 Sep 2023, 12:34 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2023, 11:25 WIB
Begini Rasanya Lakukan 19 Jam Penerbangan Langsung New York-Sidney
Potret Pekerja di Maskapai Penerbangan Qantas. Pengadilan tertinggi Australia telah menolak upaya maskapai penerbangan Qantas untuk membatalkan keputusan yang menyatakan bahwa maskapai tersebut secara ilegal melakukan outsourcing 1.700 pekerja selama pandemi. (Foto: Qantas)

 

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan maskapai asal Australia, Qantas tengah menghadapi tuntutan hukum terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawannya selama pandemi.

Pengadilan tinggi Australia menolak permohonan Qantas untuk membatalkan keputusan yang menyatakan perusahaan melakukan outsourcing secara ilegal terhadap 1.700 pekerjanya selama pandemi.

Melansir BBC, Rabu (13/9/2023) Pengadilan Australia dengan suara bulat menyatakan bahwa maskapai penerbangan tersebut telah memberhentikan staf di 10 bandara secara tidak sah pada tahun 2020.

Keputusan tersebut menyatakan bahwa Qantas melanggar Undang-Undang Kerja Australia, yang melindungi hak-hak karyawan.

Qantas meminta maaf atas hal tersebut, tetapi menegaskan bahwa itu adalah langkah yang harus diambil terkait keuangan imbas dari kondisi pandemi Covid.

Maskapai ini memecat petugas bagasi dan petugas kebersihan di bandara-bandara di seluruh Australia pada saat negara tersebut telah menutup perbatasannya dan bisnisnya anjlok.

"Seperti yang telah kami katakan sejak awal, kami sangat menyesali dampak pribadi dari keputusan outsourcing terhadap semua yang terkena dampak dan kami dengan tulus meminta maaf," kata maskapai itu dalam sebuah pernyataan melansir CNBC, Rabu (13/9/2023).

Pengadilan Tinggi Australia menegaskan bahwa meskipun Qantas memiliki "alasan komersial yang masuk akal" untuk langkah tersebut, namun hal itu telah merampas hak-hak pekerja untuk "melakukan aksi industrial yang dilindungi."

Para pekerja dan anggota serikat pekerja menggambarkan hasil tersebut sebagai "kemenangan besar" setelah melalui perjuangan "David dan Goliath".

Serikat Pekerja Transportasi mengatakan bahwa temuan ini merupakan bukti bahwa "seluruh dewan direksi Qantas harus diganti dengan direksi baru, termasuk perwakilan pekerja".

Sekretaris nasionalnya, Michael Kaine, menyebut tindakan maskapai ini sebagai "pemecatan terbesar yang terbukti ilegal" dalam sejarah Australia dan berjanji bahwa para pekerja akan menuntut ganti rugi di pengadilan.

 

Pulihkan Reputasi dengan Ganti Direksi Baru

Qantas
Qantas (Foto: AFP / PETER PARKS)

 

Qantas telah menghadapi kemarahan publik dalam beberapa pekan terakhir, setelah meraup rekor keuntungan di tengah serangkaian skandal terkait tindakannya selama Covid, termasuk tuduhan bahwa maskapai ini menjual tiket ribuan penerbangan yang telah dibatalkan.

Maskapai ini juga dituduh mendukung pemblokiran pemerintah terhadap ekspansi penerbangan Qatar Airways dari dan ke Australia, sebuah langkah yang menurut para kritikus akan membuat pasar menjadi lebih kompetitif dan menurunkan tarif.

Alan Joyce, bos lama Qantas, mengumumkan pengunduran dirinya dari maskapai ini minggu lalu di tengah-tengah kontroversi yang memuncak. Dari laporan menyebutkan jika Joyce menerima penghasilan sekitar A$ 22 juta (Rp 216 juta).

Penggantinya, Vanessa Hudson, adalah pemimpin wanita pertama maskapai ini dan telah berjanji untuk memulihkan reputasi maskapai ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya