Liputan6.com, Jakarta Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) As Natio Lasman meminta pemerintah dan DPR berhati-hati dalam membahas rancangan undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
“Dalam kajian dan pembicaraan di internal DEN, kami melihat adanya risiko liberalisasi pasar ketenagalistrikan dalam skema power wheeling,” katanya dikutip Minggu (1/10/2023).
Indonesia, paparnya, harus melihat risiko model transaksi jual beli tenaga listrik jika power wheeling diterapkan. “Nanti, swasta bisa jual listrik tanpa melalui pemerintah. Di sini kepentingan nasional akan hancur karena pemerintah tidak akan mendapatkan apa-apa selain izin-izin pendirian pembangkit,” ungkap Lasman.
Advertisement
Lebih jauh, paparnya, Indonesia harus mewaspadai surplus listrik dalam negeri. Power wheeling merupakan mekanisme yang memungkinkan perusahaan swasta membangun pembangkit listrik dan menjual listrik ke pelanggan perumahan dan industri.
“Awalnya, power wheeling itu dimaksudkan pula untuk mempercepat realisasi EBET. Tapi kami melihat risiko yang kompleks dari yang kami paparkan tersebut. Ini penting untuk kelangsungan kedaulatan energi di Indonesia,” katanya.
As Natio mengingatkan, skema power wheeling sudah pernah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Ketenagalistrikan melalui putusan No.001-021-022/2003, dan selanjutnya melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK.
Putusan tersebut, paparnya, menghendaki pola unbundling dalam kelistrikan itu tidak sesuai dengan konstitusi, yaitu pasal 33 UUD 1945. “Jadi jangan disahkan lagi dengan dalih apapun,” pungkas Lasman.
Butuh Riset Matang, Begini Ruwetnya Proses Transisi Energi di Dunia
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkap cukup sulitnya dunia menghadapi transisi energi. Salah satunya dalam aspek biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT).
Dia mengatakan, dalam jangka pendek sulit menggantikan porsi dari energi berbasis fosil ke EBT. Alasannya, masih minimnya infrastruktur EBT yang membuat biaya yang dibutuhkan semakin besar.
"Kebutuhan energi dalam perekonomian transisi harus dipenuhi. Tidaklah realistis untuk berharap bahwa energi terbarukan dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek, karena kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan," ujarnya dalam OJK International Research Forum 2023, di Jakarta, Senin (25/9/2023).
"Teknologi seringkali memerlukan modal tinggi dengan produktivitas rendah dan tidak adanya pendanaan," imbuhnya.
Pengembangan EBT
Atas kendala ini juga, kata Mahendra, membuat pengembangan EBT di beberapa negara besar ikut terdampak. Misalnya, pemerintah Inggris yang mengganti kebijakan soal bauran EBT agar tak membebani ekonomi masyarakat.
"Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara dibuka kembali di Eropa. Ada kekurangan pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan yang tidak menguntungkan. Dan dalam kasus mobil listrik, bahkan Perdana Menteri Inggris baru saja mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan ramah lingkungan dengan memasukkan penundaan pelarangan mobil berbahan bakar bensin dengan dasar bahwa keluarga di Inggris tidak diharapkan menanggung biaya yang tidak dapat diterima (berlebihan)," paparnya.
Dia mengatakan, Indonesia bisa mengaca pada fenomena ini. Titik beratnya pada posisi riset yang lebih matang dan mumpuni agar kedepannya proses transisi tidak menimbulkan biaya yang terlalu tinggi untuk ditanggung masyarakat.
Advertisement
Penguatan Riset
Mahenda menyebut, dalam menerapkan ekonomi hijau yang ramah lingkungan perlu didasari oleh riset yang kuat. Keseimbangan antara proses transisi dan pembiayaan haris dilakukan dalam proses transisi energi.
"Kita perlu fokus pada penelitian berbasis bukti. Misalnya, industri mobil listrik bergantung pada penambangan mineral penting dan titik charging station mobil sebagian besar bergantung pada listrik dari bahan bakar fosil, karena sebagian besar energi alternatif berbiaya tinggi dan akan menghambat pengembangan mobil listrik secara signifikan," bebernya.
Dalam hal ini, kata dia, pembiayaan yang ditargetkan harus mencakup proses hulu dan hilir. Dia menegaskan setiap pihak yang terlibat harus memastikan perekonomian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada investasi yang bankable. Serta perlu diperhatikan untuk lebih bijaksana dalam memilih energi terbarukan.
"Misalnya saja, terdapat kekhawatiran yang semakin besar bahwa ketika energi bukan merupakan sumber yang layak, investasi yang tinggi, produktivitas yang rendah memerlukan subsidi yang besar. Hal ini mungkin masih bisa dilakukan di wilayah tertentu di Indonesia, namun hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut," tegasnya.