Kuasa Hukum Pengelola GBK: Seluruh Tanah Gelora Dibebaskan dan Dibayar Negara, Bukan Indobuildco

Kuasa Hukum Pengelola GBK mengutip pernyataan Kapolri bahwa kalau PT Indobuildco atau Pontjo Sutowo masih berkeras, ada konsekuensi hukum yang akan terbit baik pidana bahkan yang spesifik yaitu tipikor.

oleh Arthur Gideon diperbarui 02 Okt 2023, 12:50 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2023, 12:50 WIB
Chandra Hamzah,  dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners, kuasa hukum Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno -PPKGBK. (Dok PPKGBK)
Chandra Hamzah, dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners, kuasa hukum Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK). (Dok PPKGBK)

Liputan6.com, Jakarta - Chandra Hamzah, dari Assegaf Hamzah & Partners, kuasa hukum Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) menjelaskan kronologi perebutan pengelolaan Hotel Sultan antara Indobuildco dengan PPKGBK. 

Chandra Hamzah bercerita, Hak Guna Bangunan (HGB) Indobuildco terbit bukan karena Indobuildco membebaskan tanah. Awalnya, Indobuildco memohon kepada Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada 1971 untuk menggunakan tanah dan membangun hotel di atas lahan yang sudah dibebaskan dan dibayarkan ganti ruginya oleh negara tahun 1959-1962.

“Jadi Seluruh tanah gelora dibebaskan dan dibayar oleh negara dengan uang negara, bukan oleh Indobuildco”. jelas dia dalam keterangan tertulis, Senin (2/10/2023).

Lalu, Gubernur DKI Ali Sadikin menyetujui Indobuildco untuk membangun hotel dan memberikan izin menggunakan tanah selama 30 tahun, dengan syarat Indobuildco wajib membayar royalti atas penggunaan tanah tersebut serta wajib menyumbang sebuah conference hall kepada Pemerintah.

"Ternyata, izin itulah yang digunakan oleh Indobuildco untuk mendapatkan HGB,” ujar Chandra Hamzah.

“Tidak ada yang salah dalam penerbitan (HPL) no.169/HPL/BPN/89 atau HPL 1/Gelora kepada Setneg cq PPKGBK, hanya saja mungkin mereka belum memahami bagaimana sejarah tanah tersebut,” ujar Chandra.

Diakui, terbitnya Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL) atas lahan GBK dilakukan pada 1989, setelah UU Agraria terbit tahun 1960.

“Itu secara administrasi terbit tahun 1989. Tetapi secara yuridis, ketika negara mengganti rugi pembebasan tanah, penguasaan ada pada negara. Itu terjadi pada tahun 1958 – 1959. Jadi sejak pembebasan lahan oleh Pemerintah, tanah Gelora bukan lagi tanah negara bebas. Hal ini jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Pengusaan Tanah-Tanah Negara, silahkan di cek.” Chandra menegaskan.

 

Indobuildco Harus Bayar Royalti

Chandra Hamzah (kanan), dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners, kuasa hukum Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno -PPKGBK. (Dok PPKGBK)
Chandra Hamzah (kanan), dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners, kuasa hukum Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno -PPKGBK. (Dok PPKGBK)

Chandra Hamzah mengatakan, hal ini kemudian yang menjadi dasar pengusaaan oleh Pemerintah atau yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan.

"Jadi tinggal pengadministrasiannya saja yang belakangan, dan SK HPL 1/Gelora telah dinyatakan sah oleh Putusan Pengadilan, inkracht.” jelas Chandra.

Secara teori itu, jauh sebelum undang-undang agraria terbit, ada aturannya, peraturan pemerintah 8 Tahun 1953, yang intinya mengatur bahwa sejak tanah dibebaskan dan diganti rugi oleh Pemerintah, maka tanah-tanah tersebut penguasaannya ada pada negara. Penguasaan itulah yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan.

Sementara Saor Siagian, dari kantor hukum Saor Siagian & Partrners yang juga sebagai kuasa hukum PPKGBK, juga menyampaikan bahwa Indobuildco harus membayar royalti yang nilainya masih dihitung ada di dikisaran Rp. 600 Miliar.

“Pemerintah DKI Jakarta waktu itu juga mewajibkan Indobuildco untuk membayar royalti sebesar USD 1,5 juta untuk penggunaan selama 30 tahun, menyumbang conference hall (Gedung Balai Sidang). Ingat, itu di tahun itu, 1971.“ ujar Saor Siagian.

“Royalti ini pun diperkuat oleh putusan majelis hakim yang memutuskan HPL kepada PPKGBK itu sah dan menghukum Indobuildco membayar royalti” ujar Saor.

 

Upaya Hukum Pontjo Sutowo

Seperti diketahui, Pontjo Sutowo melakukan upaya Hukum. hingga empat kali namun keseluruhannya kalah dalam PK, masing-masing pada 2011, 2014, 2020, dan 2022. Indobuildco pada tahun 2023 kembali menggugat pemerintah cq Menteri ATR melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang akhirnya ditolak juga.

Sementara itu, dalam perjalanannya, Indobuildco sempat terkena kasus pidana terkait perpanjangan HGB tersebut pada 2002 untuk 20 tahun ke depan. Pontjo Sutowo selaku terdakwa mendapatkan putusan lepas pada tingkat Peninjauan Kembali (PK).

"Jadi putusannya lepas Onslag, bukan bebas. MA bilang pembuatannya salah terbukti. cuma salahnya bukan pidana, tetapi administratif karena perbuatan perpanjangan HGB tetapi tidak izin ke PPKGBK, sehingga menyalahgunakan kewenangan. " jelas Saor.

Saor menegaskan bahwa pihak Indobuildco seharusnya mengosongkan tanah eks HGB. Adapun jika mereka ingin mengajukan perpanjangan HGB, maka harus terlebih dahulu meminta izin kepada PPKGBK. Saor Siagian juga mengingatkan konsekuensi hukum pidana kepada PT Indobuildco apabila tak kunjung kooperatif mengosongkan Blok 15 Kawasan GBK.

Saor Siagian selanjutnya mengutip pernyataan Kapolri bahwa kalau PT Indobuildco atau Pontjo Sutowo masih berkeras, ada konsekuensi hukum yang akan terbit baik pidana bahkan yang spesifik yaitu tipikor.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya