Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjamin seluruh pedagang di pasar online nantinya bakal punya peluang yang sama dalam menjalankan bisnisnya. Sehingga tidak ada lagi praktik predatory pricing yang dilakukan salah satu penjual demi menarik pasar dengan promo harga jual terlalu rendah.
Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kemendag, Rifan Ardianto, mengatakan aturan itu dimuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)
"Terkait dengan predatory pricing, sebenarnya memang Permendag 31/2023 sudah kita atur untuk memastikan bahwa tidak ada predatory pricing terkait. Mulai dari bagaimana teman-teman PMSE aktif untuk menjaga, jangan sampai ada manipulasi harga dan sebagainya," ungkapnya di Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Advertisement
Namun, Rifan mengklaim Permendag 31/2023 tidak bisa berdiri sendiri dalam memberantas praktik predatory pricing. Menurutnya, itu dibutuhkan aturan pendukung lain agar harga jual di pasaran bisa lebih terjaga.
"Bagaimana kita memperketat arus barang impor masuk, jangan sampai ada barang impor masuk dengan harga murah. Jadi kita menutup dulu nih sumber-sumber barang murah melalui crossborder," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia juga turut berbicara soal pemanfaatan algoritman yang kerap dipakai sepihak untuk pengusaha guna memonopoli pasar. Rifan menyebut Pasal 13 Permendag 31/2023 juga sudah mengatur agar penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) jangan sampai ada penyalahgunaan penguasaan data.
"Jangan sampai data-data PPMSE itu hanya mengarah pada promosi terhadap barang tertentu atau pelaku usaha tertentu. Jadi kesetaraan pedagang atau merchant, sehingga dari sisi persaingan usaha dapat terwujud," kata Rifan.
Kembali, ia menegaskan, kesetaraan pedagang online tersebut bisa dilakukan dengan adanya penguatan aturan, baik dari regulasi turunan Permendag 31/2023 maupun yang dibuat oleh kementerian lain.
"Tetapi dalam prosesnya memang kita terus mencari regulasi-regulasi yang kita perlu kembangkan lebih lanjut lagi, supaya memastikan tidak terjadi persaingan usaha tak sehat, monopoli. Ini kami terus melakukan penyempurnaan," pungkasnya.
Predatory Pricing di Social Commerce Bikin Ngeri, Industri Tekstil Jawa Barat Terancam Gulung Tikar
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menyebut, para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi, imbas praktik predatory pricing di platform social commerce seperti TikTok Shop dan lainnya.
Praktik predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan, sehingga menekan omzet bahkan berdampak pada penurunan produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.
Sebagai informasi, predatory pricing merupakan strategi penetapan harga produk di bawah harga modal agar bisa bertahan dalam persaingan usaha.
Dalam kunjungannya ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki, menyaksikan secara langsung kondisi terkini pabrik dan menerima keluhan beberapa pelaku UKM tekstil di Kabupaten Bandung.
Di kabupaten Bandung, Kecamatan Majalaya, Jawa Barat merupakan kawasan yang penduduknya menjalani usaha pertekstilan pada hari biasa ramai aktivitas produksi. Namun sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.
"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," kata Teten Masduki dalam kunjungan ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Bandung, Senin (25/9/2023).
Dalam kunjungan tersebut, MenkopUKM juga berdiskusi dengan sejumlah pelaku usaha tekstil terdiri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung.
Advertisement
Harga di Bawah HPP
Menteri Teten mengatakan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.
"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata MenKopUKM.
Menurut MenKopUKM, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, Pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.
"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya. Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja," kata Teten.
Jalan Keluar
Disisi lain, MenKopUKM juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab di China sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP.
"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," pungkasnya.
Advertisement