Liputan6.com, Jakarta Pinjaman pendidikan bagi pelajar atau student loan ternyata bukan hal barudi Indonesia. Fenomena ini pernah muncul pada tahun 1980-an ketika pemerintah memperkenalkan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya Algooth Putranto mengatakan sayangnya, program tersebut berakhir kacau karena banyak kasus moral hazard yang dilakukan penerima KMI.
"Saya ini generasi korban kelakuan mahasiswa penerima KMI tahun 1980-an yang kabur tidak mengembalikan pinjaman, sehingga KMI dihentikan pemerintah. Jadilah orang tua saya harus pinjam kanan-kiri untuk biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ibu saya yang PNS harus pinjam ke koperasi, yang bunganya tidak diatur dengan jelas," tutur dia dalam keterangannya di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Advertisement
Kegagalan KMI memberi pembelajaran berharga bagi pemerintah, khususnya OJK dalam menerapkan mekanisme check and balance dalam mengurangi risiko kendala pembayaran oleh penerima dana.
Kini ada bentuk lain pinjaman pendidikan yang diberikan financial technology (fintech). Sejatinya, hal ini dinilai dapat bermanfaat sangat besar untuk meningkatkan inklusi pendidikan di Indonesia.
Kehadiran fintech yang sudah mendapatkan izin dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa menjadi salah satu alternatif bagi pembiayaan pendidikan tinggi bagi para pelajar dan orangtuanya.
"Saya rasa kemunculan fintech yang mendapatkan izin dan pengawasan dari OJK seiring perkembangan teknologi dapat menjadi salah satu alternatif dalam pembiayaan pendidikan. Terobosan ini untuk mempermudah calon penerima dana dengan menyediakan sumber pendanaan," kata dia.
Fintech ditekankan untuk bekerja dalam koridor Know Your Customer (KYC) dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Keunggulan fintech yang memperoleh izin dan diawasi OJK mencakup transparansi biaya dan kerahasiaan data. Pun proses penyaluran dana cenderung lebih mudah dibandingkan perbankan atau pembiayaan lainnya, sehingga menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
Lantas dengan melambungnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia belakangan ini, Algooth mengatakan, selama belum ada skema atau regulasi yang memadai dari pemerintah dalam bentuk student loan atau sejenisnya, maka masyarakat membutuhkan alternatif pembiayaan.
Selama ini tak sedikit yang bergantung kepada kerabat, tetangga, kenalan, koperasi, atau malah rentenir. Fintech hadir untuk mengisi kekosongan yang sejauh ini belum dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Ada di Negara Lain
Adapun engutip Laporan Statistik Pendidikan Tinggi tahun 2022, Algooth mengungkapkan terdapat 375.134 mahasiswa menghentikan studi pada tahun tersebut. Laporan itu mengungkapkan ada 84.546 (22%) mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang putus kuliah.
Walaupun bukan semuanya dikarenakan biaya kuliah, Ia melihat ada kekhawatiran yang semakin meningkat terhadap potensi ketidakmampuan mahasiswa atau wali dalam membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) belakangan ini.
"Tentunya masalah semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara maju umumnya menerapkan sistem student loan, yaitu metode pembayaran biaya kuliah yang menggunakan skema cicilan. Umumnya, masa pembayaran dapat dilakukan setelah mahasiswa menyelesaikan studi dan bekerja. Jadi student loan bermanfaat besar karena dapat meningkatkan inklusi pendidikan bagi masyarakat," katanya.
Manfaat yang didapat dari adanya student loan dalam bentuk fintech ini, kata Algooth, turut dirasakan pula oleh pihak pengelola perguruan tinggi.
Adanya fintech ini, pihak kampus tidak perlu lagi menyisihkan tenaga kerja untuk mengelola aspek peminjaman. "Pada akhirnya kampus cukup fokus bagaimana mengelola kegiatan pembelajaran bagi mahasiswa secara optimal," ujarnya.
Advertisement