HEADLINE: Jepang dan Inggris Masuk Jurang Resesi, Indonesia Terkena Dampak?

Kabar mengejutkan di awal 2024 datang dari dua negara ekonomi terbesar dunia. Inggris dan Jepang, dua negara maju yang juga masuk dalam jajaran 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia pada 2023 resmi masuk jurang resesi.

oleh Septian DenyTanti YulianingsihMaulandy Rizki Bayu KencanaTira SantiaPipit Ika RamadhaniNatasha Khairunisa AmaniGagas Yoga Pratomo diperbarui 17 Feb 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2024, 00:00 WIB
Banner Infografis Jepang dan Inggris Tergelincir ke Jurang Resesi. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Jepang dan Inggris Tergelincir ke Jurang Resesi. Kabar mengejutkan di awal 2024 datang dari dua negara ekonomi terbesar dunia. Inggris dan Jepang, dua negara maju yang juga masuk dalam jajaran 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia pada 2023 resmi masuk jurang resesi. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Kabar mengejutkan di awal 2024 datang dari dua negara ekonomi terbesar dunia. Inggris dan Jepang, dua negara maju yang juga masuk dalam jajaran 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia pada 2023 resmi masuk jurang resesi.

Perekonomian Jepang mengalami resesi teknis setelah secara tak terduga kontraksi pada kuartal terakhir 2023, data sementara pemerintah menunjukkan.

Melansir CNBC International, resesi terjadi setelah lonjakan inflasi menghambat permintaan domestik dan konsumsi swasta di negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia itu.

Laporan produk domestik bruto terbaru memperumit kasus normalisasi suku bunga bagi Gubernur Bank of Japan Kazuo Ueda dan dukungan kebijakan fiskal untuk Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.

Hal ini juga berarti Jerman mengambil alih posisi Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia pada tahun lalu dalam hal dolar.

Data sementara menunjukkan produk domestik bruto Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen pada kuartal keempat 2023 dibandingkan dengan tahun lalu, menurun ke 3,3 persen pada periode Juli-September 2023.

Angka PDB Jepang kali ini jauh di bawah perkiraan median pertumbuhan sebesar 1,4 persen dalam jajak pendapat para ekonom.

Namun ekonom menilai, angka PDB Jepang masih mungkin diperdebatkan.

"Apakah Jepang kini telah memasuki resesi masih bisa diperdebatkan," kata Marcel Thieliant, kepala Capital Economics untuk Asia-Pasifik, dalam catatan kliennya.

"Sementara lowongan pekerjaan melemah, tingkat pengangguran turun ke level terendah dalam sebelas bulan sebesar 2,4 persen pada bulan Desember. Terlebih lagi, survei yang dilakukan oleh Bank of Japan menunjukkan bahwa kondisi bisnis di semua industri dan ukuran perusahaan berada dalam kondisi terkuat sejak tahun 2018 pada kuartal keempat,” tambahnya.

"Bagaimanapun, pertumbuhan Jepang  diperkirakan akan tetap lamban tahun ini karena tingkat tabungan rumah tangga telah berubah menjadi negatif," jelas Thieliant.

Konsumsi swasta Jepang turun 0,2 persen pada kuartal keempat dibandingkan kuartal sebelumnya, berbeda dengan perkiraan median yang memperkirakan ekspansi sebesar 0,1 persen.

Sementara itu, inflasi inti Jepang telah melampaui target BOJ sebesar 2 persen selama 15 bulan berturut-turut. Namun, BOJ masih melanjutkan rezim suku bunga negatif terakhir di dunia.

Namun, angka PDB yang lebih lemah dari perkiraan pada hari Kamis akan mempertanyakan preferensi BOJ terhadap inflasi di Jepang yang didorong oleh permintaan domestik, yang lebih berkelanjutan dan stabil.

Bank sentral Jepang meyakini kenaikan upah akan menghasilkan spiral yang lebih bermakna dan mendorong konsumen untuk berbelanja.

Banyak pelaku pasar yang mengharapkan BOJ untuk menjauh dari rezim suku bunga negatif pada pertemuan kebijakan bulan April, setelah negosiasi upah musim semi tahunan mengkonfirmasi tren kenaikan upah yang berarti.

Namun, angka pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dari perkiraan menunjukkan tingginya inflasi merugikan konsumsi domestik, meskipun ada prospek upah yang lebih tinggi, dan mungkin memperkuat alasan untuk kebijakan moneter yang lebih longgar dalam jangka waktu yang lebih lama.

Kondisi Inggris

Tak berbeda dari Jepang, Inggris juga masuk dalam daftar negara yang mengalami resesi di awal tahun ini. Perekonomian Inggris tergelincir ke dalam resesi teknis pada kuartal terakhir 2023 lalu, berdasarkan angka awal yang ditunjukkan pada Kamis hari ini (15/2/2024).

Dikutip dari CNBC International, Kantor Statistik Nasional mengatakan produk domestik bruto negara itu menyusut 0,3 persen dalam tiga bulan terakhir tahun 2023, mencatat penurunan kuartalan kedua berturut-turut.

Meskipun tidak ada definisi resmi mengenai resesi, pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut secara luas dianggap sebagai resesi teknis.

Ketiga sektor utama perekonomian Inggris mengalami kontraksi pada kuartal keempat 2023, dengan ONS mencatat penurunan sebesar 0,2 persen pada sektor jasa, 1 persen pada produksi, dan 1,3 persen pada output konstruksi.

Sepanjang tahun 2023, PDB Inggris diperkirakan hanya meningkat sebesar 0,1 persen dibandingkan tahun 2022. Untuk bulan Desember 2023 saja, output negara itu menyusut sebesar 0,1 persen.

Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt mengatakan bahwa inflasi yang tinggi masih menjadi satu-satunya hambatan terbesar terhadap pertumbuhan, karena hal ini memaksa Bank of England untuk mempertahankan suku bunga tetap kuat dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

"Tetapi ada tanda-tanda perekonomian Inggris mulai membaik; para peramal sepakat bahwa pertumbuhan akan menguat dalam beberapa tahun ke depan, upah naik lebih cepat dari harga, suku bunga hipotek turun dan pengangguran tetap rendah," imbuhnya.

Inflasi telah turun secara signifikan di Inggris, namun masih jauh di atas negara-negara lain dan target Bank of England sebesar 2 persenz, sehingga menekan keuangan rumah tangga. Pembacaan indeks harga konsumen utama juga berkisar di angka 4 persen secara tahunan di bulan Januari.

Marcus Brookes, kepala investasi di Quilter Investors, mengatakan bahwa angka-angka tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa resesi akan menjadi resesi yang berpotensi dangkal atau sementara yang mungkin tidak mencerminkan keadaan perekonomian sebenarnya, yang diperkirakan akan mengalami krisis.

"Penyusutan PDB Inggris pada bulan Desember dan kuartal keempat tahun 2023 terutama disebabkan oleh inflasi yang terus-menerus tinggi, kelemahan struktural di pasar tenaga kerja dan pertumbuhan produktivitas yang rendah, tetapi juga kondisi cuaca buruk," kata Brookes melalui sebuah pesan email.

"Faktor-faktor ini mempengaruhi kinerja sektor jasa dan konstruksi, yang merupakan penggerak utama perekonomian Inggris," jelasnya.

Ia mencatat bahwa beberapa hambatan tersebut bersifat sementara dan sudah mulai mereda, dengan angka inflasi pada bulan Januari yang berada di bawah perkiraan percepatan kembali.

"Selama beberapa bulan mendatang, kami memperkirakan inflasi akan turun, berpotensi mengurangi tekanan pada rumah tangga Inggris, dan mendukung pemulihan ekonomi yang didorong oleh konsumen," tambah Brookes.

"Indikator utama yang harus diperhatikan adalah inflasi di sektor jasa, yang menyumbang sebagian besar aktivitas ekonomi dan lapangan kerja Inggris dan mencerminkan kekuatan pertumbuhan upah dan permintaan konsumen, yang sangat penting bagi pemulihan Inggris".

Neil Birrell, kepala investasi di Premier Miton Investors, mengatakan angka hari Kamis dan data inflasi yang lebih lemah dari perkiraan "mungkin menimbulkan kekhawatiran terhadap kekuatan ekonomi di tahun mendatang."

"Sebagian besar sektor ekonomi melemah, namun pihak yang optimis akan menunjukkan fakta bahwa terdapat banyak ruang untuk menurunkan suku bunga jika tren inflasi dan pertumbuhan saat ini meningkat."

Infografis Jepang dan Inggris Tergelincir ke Jurang Resesi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jepang dan Inggris Tergelincir ke Jurang Resesi. (Liputan6.com/Abdillah)

Dampak ke Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Dari sisi domestik, aktivitas konsumsi diperkirakan akan menguat pada 2024. Hal itu sejalan dengan terjaganya daya beli masyarakat, inflasi yang terkendali, dan meningkatnya penciptaan lapangan kerja. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lantas bagaimana dampak resesi Jepang dan Inggris ke Indonesia?

Ekonom sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto menjelaskan masuknya Jepang dan Inggris ke jurang resesi memiliki dampak tidak langsung kepada Indonesia, karena kedua negara termasuk dalam kelompok 20 (G20).

“Saya melihat dampak tidak langsung karena dampaknya ke ekonomi global kemudian ke ekonomi Indonesia. Karena mereka negara maju, dampaknya lebih pada sektor investasi dan keuangan,” kata Eko kepada Liputan6.com.

Eko menambahkan, dari segi perdagangan, resesi kedua negara tersebut tidak akan berdampak banyak pada Indonesia karena keduanya bukan mitra dagang terbesar Indonesia. 

“Dampak langsung dari ekspor tidak terlalu besar, terutama Inggris. Dampak pada sektor perdagangan pasti ada, tetapi tidak terlalu besar karena porsi perdagangan Indonesia lebih besar dengan China dan Amerika Serikat,” jelas Eko.

Menurut Eko, langkah yang dapat diambil Jepang untuk keluar dari resesi adalah dengan berupaya mendorong tingkat konsumsi dalam negeri karena salah satu penyebab resesi adalah kurangnya minat konsumsi di Jepang.

“Dengan demografi masyarakat yang menuju sebagian besar orang tua kebutuhan konsumsi di Jepang menjadi terbatas karena orang tua tidak neko-neko. Mereka ditawari handphone canggih atau mobil baru mereka jarang tertarik jadi tantangannya untuk meningkatkan konsumsi negara untuk bisa mendorong ekonomi,” ungkap Eko.

Langkah kedua adalah dengan mengundang banyak anak muda dari negara lain untuk bekerja di Jepang. 

“Mereka banyak kerja sama seperti itu untuk mendatangkan anak muda negara lain dengan harapan mendorong konsumumi. Karena anak muda yang bekerja di Jepang, mereka akan tinggal 1-2 tahun di sana itu, itu bisa mendorong tingkat konsumsi, dibandingkan orang tua,” jelas Eko.

Sedangkan untuk Inggris, salah satu penyebab resesinya terkait sentimen global yaitu banyak boikot produk akibat konflik Rusia-Ukraina. Tak hanya itu, Britain Exit (Brexit) juga mempengaruhi. 

“Beberapa hal kebutan Inggris yang dari Eropa dialihkan dari Australia dengan distribusi yang mahal,” tutur Eko. 

Efek ke Pasar Modal

Sementara itu, Equity Analyst Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora mengatakan resesi yang dialami Jepang dan Inggris diprediksi juga tak banyak berimbas untuk pasar modal dalam negeri. Menurut dia, pasar dalam negeri saat ini masih tersengat euforia pemilihan umum (pemilu).

"IHSG sedang uptrend dan berpotensi ATH lagi, apabila adanya koreksi di market bisa dijadikan kesempatan untuk menambah porsi investasi di saham," kata Andhika kepada Liputan6.com.

Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count), pasangan Prabowo-Gibran unggul telak di atas 50 persen, jauh meninggalkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud di belakang.

Di sisi lain, Head of Research NH Korindo Sekuritas Liza C. Suryanata menyebutkan ekspor-impor dari dan ke Jepang turun sepanjang 2023.

"Dengan persentase dagang yang tidak begitu signifikan, seyogyanya Indonesia tidak akan begitu terpengaruh dengan lesunya daya beli Jepang saat ini, baik domestic maupun internasional," jelas Liza.

Berdasarkan data BPS, ekspor nonmigas Indonesia pada Desember 2023 ke Tiongkok dengan porsi 25,66 persen total ekspor pada 2023, turun 0,32 persen yoy menjadi USD 5.766,9 juta.

Lalu ekspor terbanyak kedua dengan porsi 9,57 persen ke Amerika Serikat mencapai USD 2.066,1 juta atau naik 0,37 yoy. Kemudian 8,35 persen porsi ekspor ke India USD 1.831,4 juta atau naik 10,40 persen yoy. Sementara ekspor nonmigas ke Jepang tercatat sebesar USD 1.608,5 juta atau setara 7,78 persen dari total ekspor nonmigas.

Sementara tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Desember 2023 adalah Tiongkok senilai USD 62,18 miliar atau setara 33,42 persen dari total impor nonmigas. Impor dari Tiongkok turun 5,58 persen yoy. Lalu dari Jepang senilai USD 16,44 miliar atau 8,84 persen dari total impor.

 

Infografis 20 Negara Ekonomi Terbesar Dunia 2023 Versi IMF. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 20 Negara Ekonomi Terbesar Dunia 2023 Versi IMF. (Liputan6.com/Abdillah)

Bikin Pengusaha Cemas

Tambang Batu Bara milik Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan
Tambang Batu Bara milik Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan (dok: PTBA)

Meski ekonom dan analis pasar modal menilai resesi Jepang dan Inggris tak banyak merembet ke Indonesia, namun hal ini cukup membuat para pengusaha dalam negeri ketar ketir.

Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kadin Indonesia, Sarman Simanjorang khawatir resesi yang menimpa Inggris dan Jepang bakal turut berdampak pada ekonomi Indonesia. Khususnya lantaran kedua negara merupakan mitra dagang Indonesia untuk berbagai komoditas ekspor, mulai dari batu bara, nikel, hingga sawit dan kopi.

Sarman lantas mengingatkan, Inggris dan Jepang resesi jadi suatu pertanda bahwa Indonesia perlu menyiapkan berbagai langkah antisipatif agar perekonomian nasional tidak terlalu berimbas.

"Memang kita lihat bahwa Inggris dan Jepang sudah masuk dalam daftar negara resesi. Pertama, ini menjadi tantangan kita bersama, terutama tentangan ekonomi Indonesia untuk mengantisipasi terjadinya resesi seperti di Jepang dan Inggris," ujarnya kepada Liputan6.com.

Jepang, kata Sarman, merupakan salah satu mitra strategis perdagangan Indonesia. Negeri Sakura juga disebutnya sebagai negara tujuan ekspor terbesar keempat Indonesia, setelah China, Amerika dan India

"Kalau kita lihat dari sisi komoditas batubara, elektronik, nikel, perhiasan, berbagai olahan kayu dan turunannya, karet dan otomotif, perikanan, ini banyak sekali yang kita ekspor ke Jepang," jelas dia.

"Tentu dengan adanya resesi ini akan berdampak terhadap nilai ekspor kita. Sedangkan ekspor kita juga salah satu kekuatan untuk menopang pertumbuhan ekonomi," imbuh Sarman.

Hal lain yang patut diwaspadai, ia melihat banyak sekali perusahaan Jepang yang membuka kegiatan industri di Indonesia.

"Dengan adanya resesi ini, otomatis mungkin berdampak juga terhadap penurunan pada permintaan. Mau tidak mau akan berdampak pada industri-industri Jepang yang ada di Indonesia," ungkapnya.

Tak terkecuali Inggris, yang juga jadi salah satu pasar ekspor utama Indonesia untuk berbagai komoditas. Mulai dari produk garmen hingga berbagai sumber daya alam.

"Termasuk juga Inggris, komoditas kita paling banyak selama ini kan adalah semisal produk industri padat karya, seperti alas kaki, garmen, tekstil, plastik, kulit, minyak sawit, dan kopi misalnya," urainya.

"Itu berbagai komoditas yang kita ekspor ke Inggris. Pasti juga akan mengalami hal yang sama. Permintaan pasti akan menurun dengan adanya resesi ini," ucap Sarman.

Alarm Bagi Pemimpin Baru

Di sisi lain, Sarman juga tak ingin resesi serupa menimpa Indonesia, yang akan memiliki pemimpin baru dalam waktu dekat.

"Apalagi kita tahu, pertumbuhan ekonomi 2024 ini terjadi transisi kepemimpinan nasional. Kita harapkan juga nanti bagaimana supaya transisi kepemimpinan ini berjalan smooth, damai, penuh semangat persatuan dan kesatuan," ujarnya.

"Sehingga kita harapkan itu akan menjadi salah satu optimisme kita untuk menatap perekonomian Indonesia yang juga tumbuh positif memasuki tahun 2025," Sarman menambahkan.

Kendati begitu, Sarman sudah menduga akan banyak negara yang kondisi ekonominya terperosok di akhir 2023 akibat banyak gejolak yang terjadi. Mulai dari konflik geopolitik hingga fluktuasi harga sejumlah komoditas pasar.

"Tentu akan berimbas juga pada negara-negara yang selama ini kita anggap kuat dalam posisi ekonominya. Ternyata juga kita lihat daya beli mereka semakin menurun, dan pertumbuhan ekonominya juga tertekan," imbuhnya.

Artinya, ia menambahkan, kondisi tersebut jadi semacam alarm bagi pemerintah untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sehingga ketersediaan dan harga-harga barang pokok tetap terpenuhi.

"Kemudian juga, hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas seperti listrik, gas, BBM, kita harapkan pemerintah bisa menjaga stabilitas harganya, tidak menaikan. Sehingga tidak terlalu berdampak terhadap daya beli masyarakat kita," urainya.

Namun begitu, Sarman yakin pemerintah bisa merespons dengan cepat untuk mengantisipasi dampaknya terhadap Indonesia, dengan mencari pangsa pasar baru untuk ekspor.

"Apakah itu ke daerah-daerah Timur Tengah, Amerika Latin, atau mungkin Afrika. Sehingga kita harapkan berbagai komoditas ekspor kita bisa tumbuh produktif untuk menopang pertumbuhan ekonomi kita," pungkas Sarman.

Dia juga meminta pemerintah untuk menyiapkan strategi agar resesi Jepang dan Inggris tidak banyak berdampak terhadap kegiatan ekonomi nasional. Caranya, seperti dengan mencari pangsa pasar ekspor baru untuk komoditas-komoditas tersebut.

"Saya rasa pemerintah kita sudah harus melakukan suatu skenario, kira-kira apa langkah yang harus kita lakukan. Sehingga imbas daripada resesi di Jepang dan Inggris tidak begitu menggerus terhadap perekonomian kita," tutur dia.

Antisipasi Pemerintah

Indonesia Bersiap Alami Resesi
Pejalan kaki melintasi pedestrian Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (23//9/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan ekonomi nasional resesi pada kuartal III-2020, perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi hingga minus 2,9 persen. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Ketua Tim Penasihat Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Raden Pardede, tak menampik bahwa Jepang dan Inggris mengalami resesi yang disebabkan dampak dari kenaikan suku bunga yangg cukup ekstrem dalam 1,5 tahun terakhir.

Meski demikian, dampak resesi kedua negara tersebut ke Indonesia sangat kecil. Lantaran, utamanya volume dagang Indonesia dengan Inggris tidak terlalu besar.

"Dampak ke indonesia pasti ada. Namun menurut saya akan sangat kecil sekali. Toh selama ini memang Jepang sudah sering kali mengalami resesi. Sementara volume dagang kita dengan Inggris tidak terlalu besar," kata Raden kepada Liputan6.com.

Justru jika resesi terjadi ke negara China dan Amerika Serikat, maka akan berdampak besar ke Indonesia. Karena volume dagang Indonesia dengan China dan Amerika Serikat sangat besar.

"Jika terjadi resesi tiongkok maupun US dampaknya ke kita akan jauh lebih besar," ujarnya.

Adapun untuk mengantisipasi dampak resesi dari negara-negara maju lainnya, Raden mengusulkan agar Pemerintah tetap menjaga disiplin moneter dan fiskal, sekaligus menjaga harga komoditas unggulan tetap stabil.

"Pemerintah sebaiknya tetap menjaga disiplin moneter dan fiskal serta menjaga agar harga harga tetap stabil," jelasnya.

Berdasarskan catatatnnya dari hasil proyeksi IMF/World Bank/OECD/ maupun rating agency standard and poor, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di sekitar 5 persen.

"Jadi, menurut para multilateral agency maupun lembaga rating, Indonesia tidak akan mengalami resesi atau penurunan ekonomi kedepan. Tentu kita harus tetap berjaga jaga," tegasnya.

Oleh karena itu, kebijakan fiskal dan moneter harus selalu siap melakukan penyesuaian, atau ekspansi atau pelonggaran bila mana diperlukan.

Sementara itu perbaikan lingkungan bisnis dan investasi juga harus terus diperbaiki. Pelayanan kepada pebisnis harus bisa lebih mudah, cepat dan lebih pasti.

Prediksi Ekonomi Indonesia

Terkait untuk ekonomi Indonesia, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto menjelaskan setelah masa pemilu dampak untuk ekonomi Indonesia tidak terlalu besar karena hanya ada beberapa sektor yang meningkat seperti sektor makanan, minuman, transportasi, komunikasi dan lainnya. 

“Jika hasilnya tidak berubah dari quick count yaitu pemenangnya Prabowo-Gibran, karena narasinya mereka adalah keberlanjutan jadi tidak ada surprise dari kebijakan,” jelasnya. 

Dari segi makroekonomi, menurutnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bisa mencapai 5 persen sudah menjadi hal baik karena secara global sedang terjadi perlambatan ekonomi. 

 

Kondisi Ekonomi Negara di Dunia

FOTO: Bank Dunia Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Imbas masuk jurang resesi, Jepang pun harus rela disalip Jerman sebagai negara yang dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia.

The Guardian menyebut perekonomian Jepang yang kini merupakan perekonomian terbesar keempat di dunia, tumbuh sebesar 1,9% pada tahun 2023 secara nominal – artinya tidak disesuaikan dengan inflasi – namun dalam dolar, produk domestik bruto (PDB) Jepang mencapai USD 4,2 triliun dibandingkan dengan Jerman yang sebesar USD 4,5 triliun.

Pergeseran ini, yang terjadi lebih dari satu dekade setelah negara ini berada di peringkat kedua setelah China, disebabkan oleh penurunan tajam yen terhadap dolar selama dua tahun terakhir. Melemahnya yen menggerogoti keuntungan ekspor ketika pendapatan dipulangkan. Mata uang Jepang turun hampir seperlima terhadap dolar AS pada tahun 2022 dan 2023, termasuk penurunan sebesar 7% pada tahun lalu.

Jerman sejatinya juga seperti Jepang, miskin sumber daya, memiliki populasi yang menua, dan sangat bergantung pada ekspor. Negara dengan perekonomian terbesar di Eropa ini juga terguncang oleh kenaikan harga energi yang disebabkan oleh perang Rusia di Ukraina, kenaikan suku bunga di zona euro, dan kekurangan tenaga kerja terampil.

Meskipun produsen mobil Jepang dan eksportir lainnya mendapat keuntungan dari melemahnya yen – yang membuat barang-barang mereka lebih murah di pasar internasional – krisis tenaga kerja di negara ini lebih buruk dibandingkan Jerman, dan negara tersebut sedang berjuang untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran.

Kegagalan upaya pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran berarti kekurangan tenaga kerja kronis diperkirakan akan semakin buruk, bahkan ketika Jepang menerima jumlah pekerja asing yang mencapai rekor tertinggi.

Menteri Revitalisasi Perekonomian Jepang, Yoshitaka Shindo, mengatakan kepada wartawan bahwa Jerman yang melampaui Jepang menunjukkan bahwa penting untuk mendorong reformasi struktural, termasuk memasukkan lebih banyak perempuan ke dalam pekerjaan penuh waktu dan menurunkan hambatan terhadap investasi asing.

"Kami akan menerapkan semua langkah kebijakan untuk mendukung kenaikan gaji guna mendorong pertumbuhan yang didorong oleh permintaan," ujar Shindo menurut kantor berita Kyodo.

Data terbaru ini mencerminkan realitas melemahnya Jepang – yang diperkirakan akan kehilangan pengaruhnya dalam perekonomian global, kata Tetsuji Okazaki, profesor ekonomi di Universitas Tokyo.

"Beberapa tahun yang lalu, Jepang memiliki sektor otomotif yang kuat, misalnya. Namun dengan munculnya kendaraan listrik, keunggulan tersebut pun terguncang," kata Okazaki.

Pada tahun 2010, status baru yang diperoleh Tiongkok sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia memicu perdebatan di Jepang mengenai kemampuannya untuk mengimbangi negara-negara berkembang.

Meskipun penurunan posisi Jepang baru-baru ini ke posisi keempat disebabkan oleh pergerakan mata uang yang dramatis, kehilangan posisi ketiga karena ekonomi Jerman yang bermasalah akan memberikan pukulan terhadap harga diri negara tersebut dan perdana menteri yang sudah tidak populer, Fumio Kishida.

India Diprediksi Lampaui Ekonomi Jepang dan Jerman pada 2026

Perekonomian India, yang didukung oleh populasi generasi muda yang besar dan terus bertambah, diproyeksikan akan melampaui Jepang pada tahun 2026 dan Jerman pada tahun berikutnya, demikian menurut Dana Moneter Internasional.

Surat kabar bisnis Nikkei mengatakan dalam editorialnya baru-baru ini bahwa Jepang telah gagal meningkatkan potensi pertumbuhannya – sebuah kesulitan yang oleh para ekonom dikaitkan dengan krisis demografinya.

“Situasi ini harus dianggap sebagai peringatan untuk mempercepat reformasi ekonomi yang terabaikan," lapor Nikkei.

AS Tak Bakal Nyusul Inggris dan Jepang Masuk Jurang Resesi

Sementara itu, Amerika Serikat (AS) memastikan perekonomiannya tidak akan menyusul Inggris dan Jepang masuk ke dalam resesi. Hal itu diungkapkan oleh penasihat ekonomi Gedung Putih Lael Brainard.

Dikutip dari US News,  Brainard mengatakan perekonomian AS telah mencapai pemulihan yang secara fundamental lebih kuat, sehingga memungkinkan belanja konsumen yang sehat, dengan belanja pemerintahan Biden untuk infrastruktur dan energi bersih yang mendorong investasi bisnis.

"Karena inflasi telah turun begitu cepat, kami mengantisipasi bahwa lingkungan akan menjadi lebih baik bagi AS," kata Brainard, direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih.

Data baru pada Selasa, 13 Februari 2024 menunjukkan Inggris dan Jepang secara tak terduga tergelincir ke dalam resesi, dengan PDB turun pada kuartal keempat 2023 setelah penurunan pada kuartal ketiga.

Belanja konsumen di kedua negara juga masih lemah.

Brainard juga mengaitkan kuatnya ekonomi AS dengan disahkannya paket penyelamatan awal COVID-19 yang dicanangkan oleh pemerintahan Biden, yang memungkinkan warga Amerika kembali bekerja lebih cepat dan membantu usaha kecil.

"Rekor penciptaan bisnis, dengan 16 juta permohonan dalam tiga tahun terakhir, dan investasi pemerintahan Biden di bidang infrastruktur, semikonduktor, dan energi bersih akan terus memberikan lingkungan investasi positif yang kuat untuk investasi bisnis," ujar dia.

Perekonomian AS pun dinilai lebih sehat dari perkiraan tahun lalu, lebih kuat dibandingkan tahap pemulihan sebelumnya, dan pertumbuhan dan inflasinya lebih baik dibandingkan negara-negara maju lainnya, dengan inflasi utama dan inti mendekati 2 persen selama enam bulan terakhir, kata Brainard.

Sepertinya diketahui, inflasi AS telah menurun bahkan ketika pertumbuhan berada di kisaran 3 persennpada tahun 2023 dan pengangguran tetap di bawah 4 persen selama dua tahun, yang merupakan rentang terpanjang sejak tahun 1960an.

"Melihat sejarah, kita belum pernah mengalami tahun dimana inflasi menurun secepat ini, bersamaan dengan pertumbuhan yang kuat dan tingkat pengangguran yang stabil dan rendah," pungkas Brainard.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya